Quantcast
Channel: Rumaysho.Com
Viewing all 3977 articles
Browse latest View live

Niat Shalat Dhuha

$
0
0
niat_shalat_dhuhaKetika kami menjelaskan beberapa artikel mengenai shalat Dhuha dan cara shalat Dhuha, muncul beberapa pertanyaan mengenai niat shalat Dhuha. Apakah ada niat khusus yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Cukup pertanyaan di atas dijawab dengan perkataan Ibnul Qayyim berikut,

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika memulai shalatnya, beliau mengucapkan takbir ‘Allahu akbar’ . Beliau tidak mengucapkan kata-kata lainnya sebelum itu. Beliau pun tidak melafazhkan niat sama sekali. Beliau tidak pernah mengatakan ketika memulai shalat, “Aku shalat karena Allah menghadap kiblat sebanyak empat raka’at sebagai imam atau makmum.” Beliau juga tidak pernah mengatakan shalat tersebut dikerjakan tepat waktu ataukah sebagai qodho’. Begitu pun beliau tidak mengatakan bahwa shalat tersebut dikerjakan di waktu fardhu. Ini semua termasuk sepuluh amalan yang tiada tuntunan. Tidak ada lafazh hadits yang menukil masalah pengucapan niat baik dengan sanad shahih maupun dho’if, baik dengan riwayat yang bersambung (musnad) atau yang terputus (mursal). Bahkan tidak ada anjuran melafazhkan niat dari para sahabat maupun tabi’in, begitu pula imam empat madzhab yang terkemuka  (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad). Sebagian ulama Syafi’iyah telah rancu dengan perkataan Imam Syafi’ tentang shalat bahwa shalat tersebut tidak seperti puasa dan seseorang baru memulainya hanya dengan dzikir. Ulama Syafi’iyah menyangka bahwa yang dimaksud dzikir tadi adalah melafazhkan niat. Namun ternyata tidak, karena yang dimaksud Imam Syafi’i sebenarnya dengan dzikir adalah bacaan Allahu akbar, karena shalat hanya bisa dimulai dengan takbiratul ihram. Tanpanya, ibadah shalat tidaklah sah. Karena Imam Syafi’i  tidak mungkin sama sekali memerintahkan sesuatu yang tidak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kerjakan dalam satu shalat. Hal ini pun tidak pernah dicontoh oleh khulafaur rasyidin dan para sahabat. Seandainya ada dalil tentang masalah niat ini tentu akan diterima.” (Zaadul Ma’ad, 1: 194).

Niat cukup dalam hati karena niat sendiri berarti ilmu atau mengetahui. Maka setiap orang yang mengetahui melakukan ibadah shalat Dhuha -misalnya-, maka ia sudah disebut berniat. Tidak perlu ada lafazh niat di lisan karena tidak ada satu dalil dari Al Qur’an dan hadits pun yang membicarakan anjuran tersebut. Masalah niat shalat Dhuha juga berlaku bagi shalat dan ibadah lainnya.

Hanya Allah yang memberi taufik.

 

Baca artikel shalat Dhuha dan niat di Rumaysho.com:

 

---

@ Pesantren Darush Sholihin, Panggang-Gunungkidul, 19 Jumadal Akhiroh 1434 H

www.rumaysho.com

 

Silakan follow status kami via Twitter @RumayshoCom, FB Muhammad Abduh Tuasikal dan FB Fans Page Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat


Jangan Sampai Dilupakan Allah Karena Maksiatmu

$
0
0
sedih_musibah_sabar_kesedihanDi antara akibat maksiat adalah membuat Allah itu melupakan dan meninggalkan hamba, lalu Allah akan membiarkannya menjadi ‘konconya’ (teman dekatnya) setan. Ini sungguh suatu kesengsaraan dan bukan suatu keselamatan yang diharap.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ (18) وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (19)

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. Al Hasyr: 18-19).

Dalam ayat di atas, Allah memerintahkan pada hamba-Nya yang beriman untuk bertakwa dan melarang dari punya kemiripan dengan orang yang melupakan Allah dengan meninggalkan sifat takwa. Akibatnya apa bagi orang yang enggan bertakwa?Yaitu Allah akan melupakannya. Allah akan melupakan kemaslahatan dirinya. Juga Allah akan melupakan dirinya sehingga ia tidak selamat dari siksa. Di samping itu pula, Allah tidak akan membuat ia selamat di akhirat kelak yang merupakan kehidupan abadi seorang muslim. Ia pun tidak bisa meraih kelezatan, kesenangan dan kenikmatan kehidupan negeri akhirat nanti. Itulah akibat dari seseorang yang lupa akan keagungan Allah dan tidak punya rasa takut pada Allah. Itu pun balasan dari enggan taat pada Sang Kholiq karena hari-harinya diisi terus dengan perbuatan dosa.

Ini menunjukkan bahwa ahli maksiat akan sulit meraih kemaslahatan untuk dirinya sendiri. Allah akan menutupi hatinya dari mengingat-Nya di mana Allah yang memberikan keterangan jiwa. Ahli maksiat semacam ini hanya mengikuti hawa nafsunya dan ia termasuk orang yang melampaui batas. Ia akan luput dari maslahat dunia dan akhiratnya. Ia pun akan sulit meraih kebahagiaan di negeri yang kita akan kekal abadi di dalamnya.

Hakekatnya hamba itu yang berbuat zholim, mencelakai dirinya sendiri dengan maksiat yang ia perbuat. Perbuatan maksiatnya sama sekali tidak mencelakakan Allah.

Demikian penjelasan dari Ibnul Qayyim dalam kitab beliau Ad Daa’ wad Dawaa’ yang penulis sarikan.

Moga Allah menjadikan hati kita selalu mengingat Allah dengan ketaatan dan jangan sampai kita menjadi orang yang dilupakan oleh Allah. Karena jika Allah melupakan kita, siapa yang bisa beri pertolongan dan kebahagiaan?

Hanya pada Allah kita memohon petunjuk dan keselamatan dari perbuatan maskiat, lebih-lebih perbuatan syirik, kufur, dan dosa besar. Wallahu waliyyut taufiq.

 

Referensi:

Ad Daa’ wad Dawaa’, Al Imam Al ‘Allamah Ibnu Qoyyim Al Jauziyah, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan kedua, 1430 H.

 

@ Pesantren Darush Sholihin, Panggang-Gunungkidul, 20 Jumadal Akhiroh 1434 H

www.rumaysho.com

 

Silakan follow status kami via Twitter @RumayshoCom, FB Muhammad Abduh Tuasikal dan FB Fans Page Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat

Yang Lebih Dulu, Itulah yang Lebih Berhak

$
0
0
shaf_terdepanSiapa yang mendapati tempat lebih dulu -seperti pada shaf pertama-, dialah yang berhak menempatinya. Sehingga tidak boleh ada yang datang belakangan, mengusir orang yang lebih dulu datang, atau mengklaim bahwa itu adalah tempat yang menjadi kebiasaan ia shalat. Padahal tidak boleh menyatakan demikian pada tempat yang masih kosong dan belum ditempati lainnya. Jika kita mengetahui demikian, maka kita akan semangat meraih kebaikan dan berusaha mendapatkan yang terdepan.

Kaedah yang kita angkat kali ini berbunyi,

أحق الناس بها من سبق إليها

Yang lebih berhak mendapatkan adalah yang lebih dulu meraihnya.” (Syarhul Mumthi’, 5: 98).

Dalil Kaedah

Dari Ibnu ‘Umar, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

لاَ يُقِيمُ الرَّجُلُ الرَّجُلَ مِنْ مَجْلِسِهِ ، ثُمَّ يَجْلِسُ فِيهِ

Tidak boleh seseorang meminta berdiri orang lain dari majelisnya lalu ia duduk di tempat tersebut.” (HR. Bukhari no. 6269 dan Muslim no. 2177).

Dari Asmar bin Mudhorros, ia berkata bahwa ia pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu membaiat beliau, lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ سَبَقَ إِلَى مَا لَمْ يَسْبِقْهُ إِلَيْهِ مُسْلِمٌ فَهُوَ لَهُ

Siapa yang lebih dulu mendapatkan sesuatu yang tidak ada seorang muslim yang lebih dulu mendapatinya, maka ia yang lebih berhak mendapatkannya.” (HR. Abu Daud no. 3071. Syaikh Al Albani dan Syaikh Al Hafizh Abu Thohir mendho’ifkan hadits ini). Hadits ini walaupun dho’if, namun maknanya benar sebagaimana didukung oleh hadits sebelumnya. Dalam Syarhul Mumthi’ (4: 279), Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Hadits ini umum meliputi segala sesuatu yang seseorang lebih dulu mendapatkannya, maka orang seperti inilah yang berhak menempatinya (memilikinya).”

Dari Abu Hurairah, ia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِى النِّدَاءِ وَالصَّفِّ الأَوَّلِ ثُمَّ لَمْ يَجِدُوا إِلاَّ أَنْ يَسْتَهِمُوا عَلَيْهِ لاَسْتَهَمُوا

Seandainya setiap orang tahu keutamaan adzan dan shaf pertama, kemudian mereka ingin memperebutkannya, tentu mereka akan memperebutkannya dengan berundi.” (HR. Bukhari no. 615 dan Muslim no. 437).

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin menjelaskan hadits Abu Hurairah di atas, “Siapa yang terdepan mendapatkan shaf, maka dialah yang lebih berhak. Tidak ada selain dirinya lagi yang lebih berhak.” (Syarh Riyadhus Sholihin, 5: 107).

Penerapan Kaedah

1- Jika datang anak kecil lebih dahulu di shaf pertama atau mendapati suatu tempat di Roudhoh (di Masjid Nabawi), maka tidak boleh yang datang telat mengusirnya. Karena kaedah mengatakan, “Siapa yang mendapati suatu tempat lebih dulu, dialah yang berhak menempatinya.

2- Tidak boleh bagi seorang muslim sengaja memblok suatu tempat di masjid dan mengklaim bahwa itu adalah tempat yang menjadi kebiasaan ia shalat. Jika ia telat dan tempat tersebut sudah ditempati lainnya, maka yang lebih dulu, itulah yang lebih berhak.

3- Kaedah ini berlaku pula ketika berada di Masjidil Haram, yang berhak menempati suatu tempat adalah yang mendapatinya terlebih dahulu.

Jangan lupa membaca artikel Rumaysho.com: Berlomba-lomba di Shaf Pertama.

Kaedah di atas dikecualikan bagi yang biasa memberi fatwa, membacakan Al Qur’an, atau menyampaikan ilmu agama lainnya di masjid. Orang seperti ini lebih berhak daripada yang lainnya jika sudah dimaklumi hal itu. Sebagaimana hal ini disetujui oleh Imam Syafi’i rahimahullah.

فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا

Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.” (QS. Al Ma’idah: 48)

Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah pada kebaikan.

 

Referensi:

Al Qowa’id wadh Dhowabith Al Fiqhiyyah ‘inda Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, Syaikh Turkiy bin ‘Abdillah bin Sholih Al Maiman, terbitan Maktabah Ar Rusyd, tahun 1430 H, 2: 550-556.

 

@ Pesantren Darush Sholihin, Panggang-Gunungkidul, 21 Jumadal Akhiroh 1434 H

www.rumaysho.com

 

Silakan follow status kami via Twitter @RumayshoCom, FB Muhammad Abduh Tuasikal dan FB Fans Page Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat

Ilmu Sederhana Sebelum Investasi

$
0
0
ilmu_investasi_modalSetiap orang yang beramal mesti mendahulukan ilmu. Karena jika tanpa ilmu, setiap amalan yang dikerjakan bisa rusak. Termasuk pula dalam hal muamalah. Menanam investasi di suatu bidang usaha adalah di antara bentuk muamalah, yang di mana mesti diawali pula dengan ilmu. Seseorang yang menanam modal dalam suatu investasi mesti mengetahui bagaimanakah cara investasi yang islami. Karena jika tidak mengetahui hal ini, seseorang bisa terjerumus dalam perkara haram, yaitu riba.

Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam- Mengawali Pagi Harinya dengan Meminta Ilmu yang Bermanfaat

Di antara dalil yang menunjukkan pentingnya berilmu sebelum bertindak adalah kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di pagi harinya yang selalu meminta pada Allah ilmu yang bermanfaat terlebih dahulu, setelah itu barulah beliau meminta rizki yang halal dan amalan yang diterima.

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَقُولُ إِذَا صَلَّى الصُّبْحَ حِينَ يُسَلِّمُ « اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا وَرِزْقًا طَيِّبًا وَعَمَلاً مُتَقَبَّلاً »

Dari Ummu Salamah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berdo’a setelah shalat Shubuh seusai salam, “Allahumma inni as-aluka ‘ilman naafi’a wa rizqon thoyyibaa, wa ‘amalan mutaqobbalaa (Ya Allah, aku meminta pada-Mu ilmu yang bermanfaat, rizki yang halal, dan amalan yang diterima)”. (HR. Ibnu Majah no. 925. Al Hafizh Abu Thohir dan Syaikh Al Albani menshahihkan hadits ini).

Syaikh ‘Abdur Rozaq bin ‘Abdul Muhsin Al Abbad hafizhohullah berkata, lihatlah dalam hadits ini didahulukan meminta ilmu terlebih dahulu dibanding dengan meminta rizki yang halal dan amalan yang mutaqobbal (yang diterima), sebagaimana yang beliau sampaikan ketika kajian umum mengenai harta haram, 11 Jumadal Akhiroh 1434 H (22 April 2013) di Islamic Center Bin Baz Piyungan, Bantul, Yogyakarta.

Inilah yang menunjukkan urgensi meminta ilmu yang bermanfaat dalam do’a kita, namun kadang kita lalai akan meminta hal ini karena seputar do’a kita hanyalah permintaan hal dunia semata. Padahal jika seseorang meraih ilmu yang bermanfaat, ia telah meraih kebahagiaan hati. ilmu yang bermanfaat itu sebagaimana kata Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di dalam Manzhumah Qowa’idil Fiqhiyyah dapat menghilangkan keraguan dan kekotoran hati. Keraguan yang beliau maksud adalah penyakit syubhat (racun pemikiran) dan kekotoran hati disebabkan karena penyakit syahwat (hawa nafsu yang cenderung pada maksiat).

Salaf Memotivasi untuk Berilmu Sebelum Berdagang

Ibnu Taimiyah dalam Al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Munkar menukilkan perkataan Ibnu Mas’ud di mana beliau berkata,

العِلْمُ إِمَامُ العَمَلِ وَالعَمَلُ تَابِعُهُ

"Ilmu adalah pemimpin amal dan amalan itu berada di belakang setelah adanya ilmu.”

Imam Bukhari, di awal-awal kitab shahihnya, beliau membawakan bab, “Al ‘ilmu qoblal qouli wal ‘amali (ilmu sebelum berkata dan berbuat).” Setelah itu beliau membawakan firman Allah Ta’ala,

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ

"Maka ilmuilah (ketahuilah)! Bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu" (QS. Muhammad: 19). Lalu Imam Bukhari mengatakan, “Dalam ayat ini, Allah memerintahkan memulai dengan ilmu sebelum amalan.” Ilmuilah yang dimaksudkan adalah perintah untuk berilmu terlebih dahulu, sedangkan ‘mohonlah ampun’ adalah amalan. Ini pertanda bahwa ilmu harus ada lebih dahulu sebelum amalan.

Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berdalil dengan surat Muhammad ayat 19 untuk menunjukkan keutamaan ilmu. Hal ini sebagaimana dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam Al Hilyah ketika menjelaskan biografi Sufyan dari jalur Ar Robi’ bin Nafi’ darinya, bahwa Sufyan membaca ayat (yang artinya), “Maka ilmuilah (ketahuilah)! Bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu”, lalu beliau mengatakan,

أَلَمْ تَسْمَع أَنَّهُ بَدَأَ بِهِ فَقَالَ : " اِعْلَمْ " ثُمَّ أَمَرَهُ بِالْعَمَلِ ؟

“Tidakkah engkau mendengar bahwa Allah memulai ayat ini dengan mengatakan ‘ilmuilah’, kemudian Allah memerintahkan untuk beramal?” (Fathul Bari karya Ibnu Hajar, 1: 160).

Ibnul Munir rahimahullah menjelaskan maksud Imam Bukhari di atas,

أَرَادَ بِهِ أَنَّ الْعِلْم شَرْط فِي صِحَّة الْقَوْل وَالْعَمَل ، فَلَا يُعْتَبَرَانِ إِلَّا بِهِ ، فَهُوَ مُتَقَدِّم عَلَيْهِمَا لِأَنَّهُ مُصَحِّح لِلنِّيَّةِ الْمُصَحِّحَة لِلْعَمَلِ

“Yang dimaksudkan oleh Imam Bukhari bahwa ilmu adalah syarat benarnya suatu perkataan dan perbuatan. Suatu perkataan dan perbuatan itu tidak teranggap kecuali dengan ilmu terlebih dahulu. Oleh sebab itulah, ilmu didahulukan dari ucapan dan perbuatan, karena ilmu itu pelurus niat. Niat nantinya yang akan memperbaiki amalan.” (idem).

Jika demikian, sama halnya ketika berdagang. Dalam kita melakukan muamalah semacam ini, jika tidak didasari dengan ilmu, maka bisa jadi jual beli kita rusak atau tidak sah. Seperti yang membuat jual beli tidak sah adalah jual beli ghoror (yang mengandung spekulasi tinggi). Al Jarjaniyy mengatakan bahwa yang dimaksud ghoror adalah,

بأنّه ما يكون مجهول العاقبة لا يدرى أيكون أم لا

“Ghoror itu hasil akhir (akibatnya) majhul (tidak diketahui), tidak diketahui akan ada ataukah tidak.” Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah. Kalau jual beli dikatakan tidak sah, artinya barang dagangan milik penjual masih tetap miliknya, uang milik pembeli juga masih tetap miliknya. Tentang larangan jual beli yang mengandung ghoror terdapat dalam hadits berikut,

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari jual beli hashoh (hasil lemparan kerikil, itulah yang dibeli) dan melarang dari ghoror” (HR. Muslim no. 1513).

Umar bin Khottob pernah memperingatkan orang-orang yang tidak paham fikih muamalah agar tidak berjualan di pasar. ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berkata,

لَا يَتَّجِرْ فِي سُوقِنَا إلَّا مَنْ فَقِهَ أَكْلَ الرِّبَا

“Janganlah seseorang berdagang di pasar kami sampai dia paham betul mengenai seluk beluk riba.” (Lihat Mughnil Muhtaj, 6: 310). ‘Umar menghendaki demikian, agar supaya jual beli yang dilakukan di pasar tidak asal-asalan.

Akibat jika tidak mengenal hukum riba -misalnya- saat berdagang, maka dapat membuat akad yang dilakukan rusak atau cacat. Sebagaimana ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz pernah berkata,

مَنْ عَبَدَ اللهَ بِغَيْرِ عِلْمٍ كَانَ مَا يُفْسِدُ أَكْثَرَ مِمَّا يُصْلِحُ

"Barangsiapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu, maka dia akan membuat banyak kerusakan daripada mendatangkan kebaikan." Dinukil Ibnu Taimiyah dalam Al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Munkar.

‘Ali bin Abi Tholib lebih tegas lagi mengatakan,

مَنْ اتَّجَرَ قَبْلَ أَنْ يَتَفَقَّهَ ارْتَطَمَ فِي الرِّبَا ثُمَّ ارْتَطَمَ ثُمَّ ارْتَطَمَ

“Barangsiapa yang berdagang namun belum memahami ilmu agama, maka dia pasti akan terjerumus dalam riba, kemudian dia akan terjerumus ke dalamnya dan terus menerus terjerumus.” (Lihat Mughnil Muhtaj, 6: 310)

Dua Akad yang Bisa Dimanfaatkan Jika Kita Memiliki Modal

1- Bagi hasil dalam untung dan rugi (Mudharabah)

Dasar dalil mengenai dibolehkannya mudharabah (bagi hasil) diambil dari hadits mengenai musaaqoh yaitu bagi hasil dengan cara menyerahkan tanaman kepada petani yang mengerjakan dengan pembagian tertentu dari hasil panennya.

عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ دَفَعَ إِلَى يَهُودِ خَيْبَرَ نَخْلَ خَيْبَرَ وَأَرْضَهَا عَلَى أَنْ يَعْتَمِلُوهَا مِنْ أَمْوَالِهِمْ وَلِرَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- شَطْرُ ثَمَرِهَا

"Dari Nafi’, dari ‘Abdullah bin ‘Umar, bahwasannya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyerahkan kepada bangsa Yahudi Khaibar kebun kurma dan ladang daerah Khaibar, agar mereka yang menggarapnya dengan biaya dari mereka sendiri, dengan perjanjian, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mendapatkan separuh dari hasil panennya." (HR. Bukhari no. 2329 dan Muslim no. 1551).

Pada hadits ini dengan jelas dinyatakan bahwa perkebunan kurma dan ladang daerah Khaibar yang telah menjadi milik umat Islam dipercayakan kepada orang Yahudi setempat, agar dirawat dan ditanami. Adapun perjanjiannya adalah  dengan bagi hasil 50% banding 50%. Pembagian bagi hasil ini ditetapkan dari hasil panen, bukan dari modal yang ditanam oleh si pemodal.

Pada akad mudharabah, asas keadilan benar-benar harus dapat diwujudkan. Yang demikian itu dikarenakan kedua belah pihak yang terkait, sama-sama merasakan keuntungan yang diperoleh. Sebagaimana mereka semua menanggung kerugian bila terjadi secara bersama-sama, pemodal menanggung kerugian materi (modal), sedangkan pelaku usaha menanggung kerugian non-materi (tenaga dan pikiran). Sehingga pada akad mudharabah tidak ada seorang pun yang dibenarkan untuk mengeruk keuntungan tanpa harus menanggung resiko usaha.

2- Melalui jalan mengupahi (ijaroh)

Akad kedua ini bukan artinya memodali, namun mempekerjakan orang. Jalan ini pun bisa ditempuh bagi yang memiliki modal.

Ijaroh atau jual beli jasa adalah suatu transaksi yang objeknya adalah manfaat atau jasa yang mubah dalam syariat dan manfaat tersebut jelas diketahui, dalam jangka waktu yang jelas serta dengan uang sewa yang jelas. Ijaroh termasuk transaksi yang mengikat kedua belah pihak yang mengadakan transaksi yaitu pembeli dan penjual jasa. Artinya salah satu dari keduanya tidak boleh membatalkan transaksi tanpa persetujuan pihak kedua.

Ijaroh itu ada dua macam:

a- ijaroh dengan objek transaksi benda tertentu semisal menyewakan rumah, kamar kost, menyewakan mobil (rental mobil, taksi, bis kota dll).

b- ijaroh dengan objek transaksi pekerjaan tertentu semisal mempekerjakan orang untuk membangun rumah, mencangkul kebun dll.

Contoh misalnya dalam memanfaatkan modal untuk ternak kambing. Cara seperti ini yang dipilih. Juragan mempekerjakan dua orang, lantas dalam waktu per hari dihitung mendapatkan upah Rp. 30.000,- dan upahnya diserahkan di akhir pekan sesuai perjanjian atau kesepakatan.

Di antara ketentuan dari bentuk ijaroh seperti di atas:

a- Dalam ijaroh seorang pekerja berhak atas upah atau gaji jika dia telah menyelesaikan pekerjaan yang menjadi kewajibannya secara sempurna dan professional. Pekerja semacam ini harus segera diberi upah begitu pekerjaannya selesai sampai-sampai nabi katakan sebelum keringatnya kering.

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ

Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah, shahih).  Maksud hadits ini adalah bersegera menunaikan hak si pekerja setelah selesainya pekerjaan, begitu juga bisa dimaksud jika telah ada kesepakatan pemberian gaji setiap bulan.

Al Munawi berkata, “Diharamkan menunda pemberian gaji padahal mampu menunaikannya tepat waktu. Yang dimaksud memberikan gaji sebelum keringat si pekerja kering adalah ungkapan untuk menunjukkan diperintahkannya memberikan gaji setelah pekerjaan itu selesai ketika si pekerja meminta walau keringatnya tidak kering atau keringatnya telah kering.” (Faidhul Qodir, 1: 718)

b- Pada dasarnya pekerja tidaklah memiliki kewajiban mengganti barang yang rusak yang diamanahkan oleh pihak yang mempekerjakan atau barang yang disewakan asalkan kerusakan barang tersebut bukan karena kecerobohan penyewa atau pekerja.

Untuk transaksi ini berarti kerugian usaha ditanggung oleh pemilik modal, bukan para pekerjanya selama kerusakan bukan terjadi karena kecerobohan pekerja. Sedangkan keuntungan usaha semuanya menjadi hak pemilik modal.

Jika Memilih Meminjamkan Modal

Cara ini bisa ditempuh jika kita memiliki modal besar dan khawatir menyimpan di bank, maka kita bisa pinjamkan pada orang yang amanat untuk mengembalikannya di waktu akan datang. Namun dengan syarat, peminjaman modal di sini bukan untuk meraup keuntungan. Karena keuntungan yang ada dalam utang piutang, itu termasuk riba. Ibnu Qudamah mengatakan bahwa riba adalah:

الزِّيَادَةُ فِي أَشْيَاءَ مَخْصُوصَةٍ

“Penambahan pada barang dagangan/komoditi tertentu.” (Al Mughni, 6: 51)

Para ulama pun bersepakat (berijma’),

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا

Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan (keuntungan), maka itu adalah riba.

Ibnu Qudamah membawakan sebuah fasal dalam Al Mughni (6: 436),

وَكُلُّ قَرْضٍ شَرَطَ فِيهِ أَنْ يَزِيدَهُ ، فَهُوَ حَرَامٌ ، بِغَيْرِ خِلَافٍ .

“Setiap piutang yang mensyaratkan adanya tambahan, maka itu adalah haram. Hal ini tidak ada perselisihan di antara para ulama.”

Di halaman yang sama Ibnu Qudamah mengatakan,

قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ : أَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ الْمُسَلِّفَ إذَا شَرَطَ عَلَى الْمُسْتَسْلِفِ زِيَادَةً أَوْ هَدِيَّةً ، فَأَسْلَفَ عَلَى ذَلِكَ ، أَنَّ أَخْذَ الزِّيَادَةِ عَلَى ذَلِكَ رَبًّا .وَقَدْ رُوِيَ عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ، وَابْنِ عَبَّاسٍ ، وَابْنِ مَسْعُودٍ ، أَنَّهُمْ نَهَوْا عَنْ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً .وَلِأَنَّهُ عَقْدُ إرْفَاقٍ وَقُرْبَةٍ ، فَإِذَا شَرَطَ فِيهِ الزِّيَادَةَ أَخْرَجَهُ عَنْ مَوْضُوعِهِ .

“Ibnul Mundzir berkata: Para ulama sepakat bahwa jika seseorang meminjamkan uang lantas ia memberi syarat pada si peminjam uang untuk adanya tambahan atau hadiah, lalu ia pinjam dan tunaikan sedemikian rupa, maka pengambilan tambahan di sini adalah riba. Diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab, Ibnu ‘Abbas, Ibnu Mas’ud bahwa mereka melarang dari bentuk utang piutang yang terdapat keuntungan. Karena utang piutang termasuk akad tolong menolong dan cari pahala karena menolong yang lain. Jika menolong ‘kok’ malah cari untung, ini sudah keluar dari maksud untuk meringankan beban orang lain.” (Al Mughni, 6: 436).

Jika pemilik uang punya keinginan uangnya kembali utuh dan mesti seperti itu, tanpa sama sekali ingin menanggung kerugian, ditambah ia ingin ada tambahan, ini sama saja mencari untung dalam utang piutang.

Hal ini juga berlaku jika utang piutang menggunakan gadaian. Barang gadaian pun tidak boleh dimanfaatkan oleh si pemberi pinjaman. Karena kaedah di atas tetap berlaku dalam gadai, “Setiap utang piutang yang meraup keuntungan, maka itu riba.”

Namun ada gadaian yang boleh dimanfaatkan jika dikhawatirkan begitu saja ia akan rusak atau binasa. Seperti hewan yang memiliki susu dan hewan tunggangan bisa dimanfaatkan sesuai pengeluaran yang diberikan si pemberi utang dan tidak boleh lebih dari itu. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الرَّهْنُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا ، وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا ، وَعَلَى الَّذِى يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ

Barang gadaian berupa hewan tunggangan boleh ditunggangi sesuai nafkah yang diberikan. Susu yang diperas dari barang gadaian berupa hewan susuan boleh diminum sesuai nafkah yang diberikan. Namun, orang yang menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk memberikan makanan” (HR. Bukhari no. 2512).

Kaedah Penting: Keuntungan bagi yang Berani Menanggung Resiko

Dalam kaedah fikih disebutkan,

الخراج بالضمان

“Keuntungan adalah imbalan atas kesiapan menanggung kerugian”.

Maksud kaedah ini ialah orang yang berhak mendapatkan keuntungan ialah orang yang punya kewajiban menanggung kerugian -jika hal itu terjadi-. Keuntungan ini menjadi milik orang yang berani menanggung kerugian karena jika barang tersebut suatu waktu rusak, maka dialah yang merugi. Jika kerugian berani  ditanggung, maka keuntungan menjadi miliknya.

Asal kaedah di atas berasal dari hadits berikut,

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَجُلًا ابْتَاعَ غُلَامًا، فَأَقَامَ عِنْدَهُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يُقِيمَ، ثُمَّ وَجَدَ بِهِ عَيْبًا، فَخَاصَمَهُ إِلَى النَّبِيِّ صلّى الله عليه وسلّم، فَرَدَّهُ عَلَيْهِ، فَقَالَ الرَّجُلُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ اسْتَغَلَّ غُلَامِي؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلّى الله عليه وسلّم: الْخَرَاجُ بِالضَّمَانِ

"Dari sahabat 'Aisyah radhiyallahu 'anha, bahwasanya seorang lelaki membeli seorang budak laki-laki. Kemudian, budak tersebut tinggal bersamanya selama beberapa waktu. Suatu hari sang pembeli mendapatkan adanya cacat pada budak tersebut. Kemudian, pembeli mengadukan penjual budak kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan Nabi-pun memutuskan agar budak tersebut dikembalikan. Maka penjual berkata, 'Ya Rasulullah! Sungguh ia telah mempekerjakan budakku?' Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Keuntungan adalah imbalan atas kerugian.'" (HR. Abu Daud no. 3510, An Nasai no. 4490, Tirmidzi no. 1285, Ibnu Majah no. 2243 dan Ahmad 6: 237. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Dari kaedah di atas kita bisa mengambil dua pelajaran penting:

1- Dalam akad mudhorobah, jika sama-sama mendapat untung, maka pihak pemodal dan pelaku usaha harus sama-sama menanggung rugi. Jika pelaku usaha, sudah mendapatkan rugi karena usahanya gagal, maka pemodal pun harus menanggung rugi. Karena jika pemodal mendapat untung, maka kerugian pun -artinya: tidak mendapatkan apa-apa- harus berani ia tanggung. Termasuk kekeliruan jika si pemodal minta modalnya itu kembali selama bukan karena kecerobohan pelaku usaha.

2- Bermasalahnya transaksi riba, simpan pinjam yang menarik keuntungan. Jika pihak kreditur  dalam posisi aman, hanya mau ingin uangnya kembali, tanpa mau menanggung resiko karena boleh jadi yang meminjam uang adalah orang yang susah, maka berarti ini masalah. Karena kalau ia ingin uangnya kembali, maka ia pun harus berani menanggung resiko tertundanya utang tersebut. Alasannya adalah kaedah yang kita bahas saat ini.

Bahaya Riba

Jika kita tidak mengetahui transaksi halal dan haram, kita bisa terjerumus dalam riba sebagaimana akibatnya disebutkan dalam dua hadits berikut,

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

دِرْهَمُ رِبًا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةِ وَثَلاَثِيْنَ زَنْيَةً

Satu dirham yang dimakan oleh seseorang dari transaksi riba sedangkan dia mengetahui, lebih besar dosanya daripada melakukan perbuatan zina sebanyak 36 kali.” (HR. Ahmad dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Syaikh Al Albani dalam Misykatul Mashobih mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Hadits lain juga menyebutkan,

الرِبَا ثَلاَثَةٌ وَسَبْعُوْنَ بَابًا أيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرُّجُلُ أُمَّهُ وَإِنْ أَرْبَى الرِّبَا عِرْضُ الرَّجُلِ الْمُسْلِمِ

Riba itu ada 73 pintu (dosa). Yang paling ringan adalah semisal dosa seseorang yang menzinai ibu kandungnya sendiri. Sedangkan riba yang paling besar adalah apabila seseorang melanggar kehormatan saudaranya.” (HR. Al Hakim dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih dilihat dari jalur lainnya)

Semoga penjelasan di atas bermanfaat bagi kita yang ingin berinvestasi.

---

@ Pesantren Darush Sholihin, Panggang-Gunungkidul, 22 Jumadal Akhiroh 1434 H (ditulis selepas shalat Fajar hingga 07: 40, sebelum beranjak ke Seminar di UIN Yogyakarta)

www.rumaysho.com

 

Silakan follow status kami via Twitter @RumayshoCom, FB Muhammad Abduh Tuasikal dan FB Fans Page Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat

Jangan Lupakan Nasib Kalian di Dunia

$
0
0
lupa dunia akhiratApa yang dimaksud dengan ayat yang artinya ‘jangan lupakan nasib kalian di dunia’? Apakah itu berarti kita membagi dunia dan akhirat menjadi ‘fifty-fifty’? Apakah itu berarti dunia dan akhirat mesti seimbang? Ataukah akhirat yang jadi tujuan utama, sedangkan dunia kita gunakan sebagai sarana untuk menggapai kebahagiaan akhirat?

Ayat yang bisa kita renungkan dan kita kaji di pagi hari ini,

وَابْتَغِ فِيمَا آَتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآَخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi” (QS. Al Qashshash: 77).

Raihlah Akhiratmu

Sekarang kita lihat terlebih dahulu makna penggalan pertama dari ayat di atas (yang artinya), “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat”.

Dikatakan oleh Qurthubi dalam Al Jaami’ li Ahkamil Qur’an (7: 199), “Hendaklah seseorang menggunakan nikmat dunia yang Allah berikan untuk menggapai kehidupan akhirat yaitu surga. Karena seorang mukmin hendaklah memanfaatkan dunianya untuk hal yang bermanfaat bagi akhiratnya. Jadi ia bukan mencari dunia dalam rangka sombong dan angkuh.”

Ibnu Katsir mengatakan mengenai ayat tersebut,

استعمل ما وهبك الله من هذا المال الجزيل والنعمة الطائلة، في طاعة ربك والتقرب إليه بأنواع القربات، التي يحصل لك بها الثواب في الدار الآخرة

“Gunakanlah yang telah Allah anugerahkan untukmu dari harta dan nikmat yang besar untuk taat pada Rabbmu dan membuat dirimu semakin dekat pada Allah dengan berbagai macam ketaatan. Dengan ini semua, engkau dapat menggapai pahala di kehidupan akhirat.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 6: 37).

Jangan Lupakan Nasibmu di Dunia

Yang dimaksud ayat,

وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا

Jangan melupakan nasibmu di dunia”.

Jika kita artikan leterlek, mungkin maknanya adalah hendaklah kita seimbangkan dunia dan akhirat. Namun ternyata, yang dipahami oleh para ulama pakar tafsir tidaklah demikian. Banyak yang salah dalam memahami ayat ini gara-gara cuma bersandar pada Al Qur’an terjemahan.

Imam Ibnu Katsir -semoga Allah merahmati beliau- menyebutkan dalam kitab tafsirnya,

{ وَلا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا } أي: مما أباح الله فيها من المآكل والمشارب والملابس والمساكن والمناكح، فإن لربك عليك حقًّا، ولنفسك عليك حقًّا، ولأهلك عليك حقًّا، ولزورك عليك حقا، فآت كل ذي حق حقه.

“Janganlah engkau melupakan nasibmu dari kehidupan dunia yaitu dari yang Allah bolehkan berupa makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal dan menikah. Rabbmu masih memiliki hak darimu. Dirimu juga memiliki hak. Keluargamu juga memiliki hak. Istrimu pun memiliki hak. Maka tunaikanlah hak-hak setiap yang memiliki hak.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 6: 37).

Dalam Tafsir Al Jalalain (hal. 405) disebutkan maksud dari ayat tersebut,

{ وَلاَ تَنسَ } تترك { نَصِيبَكَ مِنَ الدنيا } أي أن تعمل فيها للآخرة

“Janganlah engkau tinggalkan nasibmu di dunia yaitu hendaklah di dunia ini engkau beramal untuk akhiratmu.” Sangat jelas apa yang dimaksudkan oleh Jalaluddin As Suyuthi dan Jalaluddin Al Mahalli bahwa yang dimaksud ayat di atas bukan berarti kita harus menyeimbangkan antara kehidupan dunia dan akhirat. Namun tetap ketika di dunia, setiap aktivitas kita ditujukan untuk kehidupan selanjutnya di akhirat. Jadikan belajar kita di bangku kuliah sebagai cara untuk membahagiakan orang banyak. Jadikan usaha atau bisnis kita bisa bermanfaat bagi kaum muslimin. Karena semakin banyak yang mengambil manfaat dari usaha dan kerja keras kita di dunia, maka semakin banyak pahala yang mengalir untuk kita. Karena sebaik-baik manusia, merekalah yang ‘anfa’uhum linnaas’, yang paling banyak memberi manfaat untuk orang banyak.

Coba lihat pula keterangan lainnya. Syaikh ‘Abdurrahman  bin Nashir As Sa’di dalam Taisir Karimir Rahman (hal. 623), “Engkau telah menggenggam berbagai cara untuk menggapai kebahagiaan akhirat dengan harta, yang harta tersebut tidaklah dimiliki selainmu. Haraplah dengan harta tersebut untuk menggapai ridho Allah. Janganlah nikmat dunia digunakan untuk memenuhi syahwat dan kelezatan semata. Jangan pula sampai lupa nasibmu di dunia, yaitu Allah tidak memerintahkan supaya manusia menginfakkan seluruh hartanya, sehingga lalai dari menafkahi yang wajib. Namun infaklah dengan niatan untuk akhiratmu. Bersenang-senanglah pula dengan duniamu namun jangan sampai melalaikan agama dan membahayakan kehidupan akhiratmu kelak.”

Di Akhir Ayat

Di akhir ayat yang kita kaji disebutkan,

وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ

Dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al Qashshash: 77).

Ayat ini memerintahkan untuk berbuat baik pada makhluk Allah sebagaimana Dia telah memberi kebaikan untuk kita. Janganlah tujuan hidup kita di muka bumi untuk berbuat kerusakan dan menyakiti makhluk lain. Sesungguhnya Allah benar-benar tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan. Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim karya Ibnu Katsir, 6: 37.

Jadikan Akhirat Tujuan Kita

Yang dimaksud dalam ayat yang kita kaji, bukan dunia yang jadi tujuan kita, namun semestinya yang jadi tujuan besar kita adalah akhirat. Namun betapa banyak manusia yang lalai akan hal ini. Mereka hanya mengejar dunia dan banyak lupa pada akhirat. Mereka tidak mau mengenal Islam, tidak mau belajar agama, melupakan mengkaji Al Qur’an, sampai lupa pula akan kewajiban shalat 5 waktu dan kewajiban lainnya. Ingat dan kecamkan hadits berikut ini,

مَنْ كَانَتِ الآخِرَةُ هَمَّهُ جَعَلَ اللَّهُ غِنَاهُ فِى قَلْبِهِ وَجَمَعَ لَهُ شَمْلَهُ وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِىَ رَاغِمَةٌ وَمَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ جَعَلَ اللَّهُ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَفَرَّقَ عَلَيْهِ شَمْلَهَ وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلاَّ مَا قُدِّرَ لَهُ

Barangsiapa yang niatnya adalah untuk menggapai akhirat, maka Allah akan memberikan kecukupan dalam hatinya, Dia akan menyatukan keinginannya yang tercerai berai, dunia pun akan dia peroleh dan tunduk hina padanya. Barangsiapa yang niatnya adalah untuk menggapai dunia, maka Allah akan menjadikan dia tidak pernah merasa cukup, akan mencerai beraikan keinginannya, dunia pun tidak dia peroleh kecuali yang telah ditetapkan baginya.” (HR. Tirmidzi no. 2465. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini dho’if dan syawahidnya atau penguatnya pun dho’if. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat penjelasan hadits ini di Tuhfatul Ahwadzi, 7: 139).

Sekali lagi, ayat yang kita bahas pun bukan maksudnya adalah dunia dan akhirat mesti seimbang. Tapi yang dimaksud adalah dunia adalah sebagai lading persiapan untuk menuju kampung akhirat. Ingat kata Qurthubi di atas, “Hendaklah seseorang menggunakan nikmat dunia yang Allah berikan untuk menggapai kehidupan akhirat yaitu surga. Karena seorang mukmin hendaklah memanfaatkan dunianya untuk hal yang bermanfaat bagi akhiratnya.

Semoga Allah menjadikan pada benak dan tujuan hidup kita adalah darul akhirat, negeri akhirat yang kekal abadi. Hanyalah Allah yang memberi taufik, wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

---

@ Pesantren Darush Sholihin, Panggang-Gunungkidul, 23 Jumadal Akhiroh 1434 H

www.rumaysho.com

 

Silakan follow status kami via Twitter @RumayshoCom, FB Muhammad Abduh Tuasikal dan FB Fans Page Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat

Nikmat Dunia Pasti Akan Sirna

$
0
0
nikmat duniaSaudaraku, semua kenikmatan di dunia ini pasti akan sirna. Sedangkan yang ada di sisi Allah, itulah yang akan kekal. Namun sayangnya, betapa banyak yang terlena dengan dunianya yang nanti akan sirna, lalu lebih mementingkan kehidupan kekal yang ada di akhirat.

Allah Ta’ala berfirman,

مَا عِنْدَكُمْ يَنْفَدُ وَمَا عِنْدَ اللَّهِ بَاقٍ

Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal.” (QS. An Nahl: 96).

Segala sesuatu yang kita miliki pasti akan sirna, baik diri kita sendiri, keluarga dekat kita, dan harta kita. Ibnu Katsir berkata, “Apa yang ada di sisi kalian akan berakhir pada waktu tertentu yang telah ditetapkan.”

Lalu apa yang akan kekal? Ibnu Katsir melanjutkan tafsiran ayat di atas, “Pahala di sisi Allah untuk kalian di surga yang akan kekal, tidak terputus, tidak akan lenyap, dan tidak akan hilang.” (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 4: 710).

Dalam Tafsir Al Jalalain disebutkan bahwa semua yang ada di dunia ini pasti akan sirna dan yang di sisi Allah itulah yang kekal.

Demikianlah, manusia tahu bahwa di sisi Allah yang kekal abadi. Namun mereka malah mengganti sesuatu yang kekal dengan sesuatu yang pasti akan sirna.

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di dalam kitab tafsirnya (hal. 448), “Seharusnya manusia itu mendahulukan sesuatu yang pasti kekal, bukan sesuatu yang akan binasa.  Karena segala sesuatu di sisi kalian -wahai manusia- akan sirna walaupun banyak jumlahnya. Adapun yang di sisi Allah (yaitu kenikmatan di akhirat) akan tetap terus ada, tidak akan sirna dan hilang.” Apa yang dimaksudkan oleh Syaikh As Sa’di sepadan dengan firman Allah,

بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا (16) وَالْآَخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى (17)

Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Al A’laa: 16-17).

Wahai saudaraku… Malik bin Dinar berkata,

لو كانت الدنيا من ذهب يفنى ، والآخرة من خزف يبقى لكان الواجب أن يؤثر خزف يبقى على ذهب يفنى ، فكيف والآخرة من ذهب يبقى ، والدنيا من خزف يفنى؟

“Seandainya dunia adalah emas yang akan fana, dan akhirat adalah tembikar yang kekal abadi, maka tentu saja seseorang wajib memilih sesuatu yang kekal abadi (yaitu tembikar) daripada emas yang nanti akan fana. Padahal sebenarnya akhirat adalah emas yang kekal abadi dan dunia adalah tembikar nantinya fana.” (Lihat Fathul Qodir, Asy Syaukani, 7: 473, Mawqi' At Tafasir)

Juga kata Syaikh As Sa’di, ayat yang kita kaji mengandung pelajaran penting tentang zuhud di dunia karena kita diperintahkan untuk memikirkan akhirat kita yang kekal dibanding dunia yang akan sirna, dunia hanyalah sebagai sarana untuk menggapai kebahagiaan akhirat. Zuhud yang dimaksud adalah meninggalkan setiap yang dapat mendatangkan bahaya bagi hamba dan meninggalkan setiap yang membuat lalai dari kewajiban dan hak Allah.

Semoga kita termasuk hamba yang menjadi akhirat sebagai tujuan mulia kita.

---

@ Pesantren Darush Sholihin, Panggang-Gunungkidul, 25 Jumadal Akhiroh 1434 H

www.rumaysho.com

 

Silakan follow status kami via Twitter@RumayshoCom, FB Muhammad Abduh Tuasikal dan FB Fans Page Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat

Sesuatu yang Dilakukan Karena Allah Pasti Langgeng

$
0
0
ikhlasKarena tidak ikhlas, membuat amalan kita tidak langgeng. Kadang jadi malas di tengah jalan gara-gara ketika beramal hanya ingin raih pujian. Kadang karena tidak ikhlas, kita pun sulit istiqomah. Bahkan kita pun mudah dilupakan ketika jasad kita telah berada di alam barzakh karena kurang ikhlas dalam karya dan usaha kita. Ikhlas itu begitu penting bagi kita. Sesuatu yang dilakukan ikhlas karena Allah, pasti akan terus langgeng.

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

وما لا يكون له لا ينفع ولا يدوم

“Segala sesuatu yang tidak didasari ikhlas karena Allah, pasti tidak bermanfaat dan tidak akan kekal.”  (Dar-ut Ta’arudh Al ‘Aql wan Naql, 2: 188).

Para ulama juga memiliki istilah lain,

ما كان لله يبقى

“Segala sesuatu yang didasari ikhlas karena Allah, pasti akan langgeng.”

Ada juga perkataan dari Imam Malik,

وذكر العلماء أن الإمام ابن أبي ذئب معاصر الإمام مالك وبلديه - قد صنف موطأ أكبر من موطأ مالك حتى قيل لمالك : ما الفائدة في تصنيفك ؟ فقال : ما كان لله بقي ( من " الرسالة المستطرفة " ص 9 )

Para ulama menyebutkan bahwa Imam Ibnu Abi Dzi’bi yang semasa dan senegeri dengan Imam Malik pernah menulis kitab yang lebih besar dari Muwatho’. Karena demikian, Imam Malik pernah ditanya, “Apa faedahnya engkau menulis kitab yang sama seperti itu?” Jawaban beliau, “Sesuatu yang ikhlas karena Allah, pasti akan lebih langgeng.” (Ar Risalah Al Mustathrofah, hal. 9. Dinukil dari Muwatho’Imam Malik, 3: 521).

Cobalah direnungkan wahai saudaraku, betapa banyak yang belajar Islam, namun hasilnya kosong blong. Karena semuanya tidak didasari ikhlas. Padahal ikhlas dalam belajar harus memenuhi empat hal berikut:

1-      Belajarnya untuk menghilangkan kebodohan pada diri sendiri

2-      Belajarnya untuk menghilangkan kebodohan pada orang lain

3-      Belajarnya untuk menghidupkan dan menjaga ilmu

4-      Belajarnya untuk mengamalkan ilmu

Demikian keterangan dari guru kami, Syaikh Sholih Al ‘Ushoimi dalam Ta’zhimul ‘Ilmi. Bagaimana dikatakan ikhlas, jika sebagian orang hanya sibuk belajar Islam untuk saling berbantah-bantahan atau ingin menjatuhkan lainnya. Belajar seperti ini bukanlah maksud dari belajar yang ikhlas. Belajar yang ikhlas tentu saja akan berbuah nasehat yang ikhlas. Nasehat yang ikhlas adalah menginginkan orang lain jadi baik.

Betapa banyak da’i yang dakwahnya tidak ikhlas, sehingga dakwahnya pun sulit langgeng dan bekasnya pun tidak ada pada hati umat. Coba lihat Imam Nawawi, meskipun umurnya singkat, namun ilmunya terus kekal dan langgeng. Karya beliau yang begitu masyhur seperti Hadits Arba’in An Nawawiyah, Riyadhus Sholihin dan Syarh Shahih Muslim. Bahkan kita dapati beliau punya karya dalam berbagai bidang ilmu. Itu semua dilakukan beliau karena hanya ingin meraih ridho Allah, bukan ingin disebut orang paling cerdas, bukan ingin pula meraih gelar mentereng atau ingin mendapat balasan dunia semata. Jadi, ikhlas itu begitu penting bagi setiap muslim yang bisa membuat ia terus istiqomah dalam berkarya dan beramal. Begitu pula karena ikhlas, meskipun kita sudah di liang lahat, karya-karya kita akan terus dikenang. Apalagi jika yang kita tinggalkan adalah warisan ilmu agama.

Semoga Allah memberi taufik pada kita agar setiap langkah kita bertujuan untuk menggapai ridho-Nya.

---

@ Pesantren Darush Sholihin, Panggang-Gunungkidul, 25 Jumadal Akhiroh 1434 H

www.rumaysho.com

 

Silakan follow status kami via Twitter @RumayshoCom, FB Muhammad Abduh Tuasikaldan FB Fans Page Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat

Tawakkal pada Allah Yang Memberi Kecukupan

$
0
0
tawakkalTawakkaldibalas dengan kecukupan dan pertolongan dari Allah Yang Maha Mencukupi. Dialah yang mencukupi hamba-Nya di saat mereka butuh dan dalam keadaan sangat berharap. Kecukupan khusus yang Allah berikan adalah untuk orang beriman dan yang bertawakkal pada-Nya. Kecukupan yang dimaksud meliputi kecukupan dunia dan akhirat.

Allah Ta’ala berfirman,

أَلَيْسَ اللَّهُ بِكَافٍ عَبْدَهُ

Bukankah Allah cukup untuk melindungi hamba-hamba-Nya.” (QS. Az Zumar: 36).

وَكَفَى بِاللَّهِ حَسِيبًا

Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu)” (QS. An Nisa’: 6).

Di antara nama Allah adalah ‘Al Hasiib’. Maksud dari nama tersebut adalah bahwa Allah Maha Mencukupi hamba-Nya dalam urusan dunia dan agamanya yang mereka butuhkan. Allahlah yang memudahkan setiap kebutuhan dan Dialah yang menolak segala yang tidak disukai. Begitu pula maksud nama tersebut adalah Allah menjaga setiap apa yang hamba perbuat, Dialah yang memilih manakah amalan yang rusak, manakah amalan yang baik, lalu Allah yang membalasnya dengan pahala dan siksa.

Sedangkan maksud nama Allah ‘Al Kaafi’ adalah Allah Maha Mencukupi seluruh hamba secara umum maupun khusus. Mencukupi secara umum maksudnya Allah mencukupi seluruh makhluk, mencukupi, memberi makan dan memberi minum pada mereka. Sedangkan secara khusus, Allah mencukupi setiap hamba yang bertawakkal, menyandarkan hati pada-Nya. Sebagaimana disebutkan dalam ayat,

وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya” (QS. Ath Tholaq: 3).

Tawakkalinilah sebab meraih kecukupan dari Allah. Kecukupan di sini diberikan pada wali Allah yang beriman dan bertakwa.

Ibnul Qayyim berkata, “Tawakkaladalah sebab terbesar yang membuatnya bisa mengatasi gangguan, kezholiman dan perlawanan dari makhluk terhadapnya. Tawakkal itulah sebab utama yang bisa menolong, dengan sikap ini pun akan mencukupi hamba. Jika Allah telah mencukupi, maka lawan pun mustahil untuk menundukkan hamba. Tidak ada pula yang bisa memudhorotkan kecuali hal yang mesti ada seperti tertimpa panas, dingin, kelaparan atau kehausan. … Sebagian ulama salaf mengatakan bahwa Allah menjadikan bagi setiap amalan ada balasan yang sejenis dengannya. Sama halnya dengan tawakkal, Allah membalas dengan memberi kecukupan. Sebagaimana dalam ayat disebutkan (yang artinya), “Barangsiapa yang bertawakkal pada Allah, maka Allah akan beri kecukupan.” Di sini tidak dikatakan bahwa orang yang bertawakkal akan dibalas dengan pahala demikian dan demikian seperti balasan untuk amalan lainnya. Bahkan disebutkan balasan dari tawakkal adalah Allah sendiri yang mencukupinya. Jika seseorang benar-benar bertawakkal pada Allah, maka Allah akan memberikan jalan keluar melalui langit dan bumi serta setiap makhluk di dalamnya yang Allah tundukkan, Allah akan mencukupi dan menolong orang yang bertawakkal tersebut.” (Badai’ul Fawaid, 2: 766-777).

Di kitab lainnya, Ibnul Qayyim berkata,

ومن اشتغل بالله عن الناس كفاه الله مؤونة الناس ومن اشتغل بنفسه عن الله وكله الله الي نفسه ومن اشتغل بالناس عن الله وكله الله اليهم

“Barangsiapa yang menyibukkan dirinya dengan bersandar pada Allah (bukan bersandar pada makhluk), maka Allah akan mencukupi kebutuhannya. Sebaliknya, barangsiapa yang menyibukkan dirinya dengan bersandar pada dirinya sendiri (tidak tawakkal pada Allah), maka Allah akan membuatnya bersandar pada dirinya sendiri. Begitu pula jika seseorang bersandar pada manusia dan meninggalkan Allah, Allah pun akan membuat ia menggantungkan urusannya pada manusia (tanpa ada pertolongan dari Allah).” (Disebutkan dalam kitab Al Fawaid).

Apa yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim di atas senada dengan hadits berikut,

مَنِ الْتَمَسَ رِضَاءَ اللَّهِ بِسَخَطِ النَّاسِ كَفَاهُ اللَّهُ مُؤْنَةَ النَّاسِ وَمَنِ الْتَمَسَ رِضَاءَ النَّاسِ بِسَخَطِ اللَّهِ وَكَلَهُ اللَّهُ إِلَى النَّاسِ

Barangsiapa yang mencari ridho Allah saat manusia tidak suka, maka Allah akan cukupkan dia dari beban manusia. Barangsiapa yang mencari ridho manusia namun Allah itu murka, maka Allah akan biarkan dia bergantung pada manusia.” (HR. Tirmidzi no. 2414 dan Ibnu Hibban no. 276. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Dan maksud tawakkaladalah bersandarnya hati pada Allah dan mengambil sebab atau usaha untuk terwujudnya tujuan.

Semoga Allah menjadikan kita sebagai hamba yang bertawakkal. Tawakkal itulah kunci kecukupan dari Allah. Hanya Allah yang memberi taufik.

 

Referensi:

Syarh Asmail Husna fii Dhoil Kitab was Sunnah, Syaikh Dr. Sa’id bin Wahf Al Qohthoni, terbitan Maktabah Al Malik Fahd, cetakan ke-12, tahun 1431 H, hal. 117.

Fiqh Al Asmail Husna, Syaikh Prof. Dr. ‘Abdurrozaq bin ‘Abdul Muhsin Al Badr, terbitan Maktabah Al Malik Fahd, cetakan ke-2, tahun 1431 H, hal. 272-276.

Badai’ul Fawaid, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, terbitan Darul ‘Alamil Fawaid, cetakan ketiga, 1433 H.

 

@ Pesantren Darush Sholihin, Panggang-Gunungkidul, 26 Jumadal Akhiroh 1434 H

www.rumaysho.com

 

Silakan follow status kami via Twitter @RumayshoCom, FB Muhammad Abduh Tuasikaldan FB Fans Page Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat


Ilmu Membentengi dari Maksiat

$
0
0
ilmu maksiatIlmuternyata mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam membentengi maksiat. Karena semakin seseorang berilmu dan makin mengenal agungnya Rabb yang telah menciptakan dan memberikan berbagai nikmat untuknya, maka tentu ia akan semakin punya rasa takut pada Allah. Rasa takut inilah yang dapat membentengi dari maksiat.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Seorang hamba bisa menerjang yang haram karena dua sebab:

1- Suuzhon (berprasangka jelek) pada Allah. Karena seandainya seseorang mentaati dan mendahulukan perintah Allah, tentu ia hanya mau melakukan yang dihalalkan.

2- Hawa nafsunya mengalahkan sifat sabar dan menutupi akal, dalam keadaan ia tahu yang dilakukan itu haram. Padahal jika seseorang meninggalkan sesuatu karena Allah, Dia akan mengganti yang lebih baik.

Sebab yang pertama di atas disebabkan karena sedikitnya ilmu. Sedangkan yang kedua dikarenakan kurangnya akal dan bashiroh (cara pandang).” (Al Fawaid karya Ibnul Qayyim, hal. 78).

Itulah yang terjadi di saat kita mudah berbuat maksiat. Itu semua disebabkan karena kurangnya ilmu dan kurangnya akal. Karena ilmu itulah yang dapat membuat kita punya rasa takut pada Allah, sebagaimana disebutkan dalam ayat,

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ

Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama” (QS. Fathir: 28).

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Sesungguhnya yang paling takut pada Allah dengan takut yang sebenarnya adalah para ulama (orang yang berilmu). Karena semakin seseorang mengenal Allah Yang Maha Agung, Maha Mampu, Maha Mengetahui dan Dia disifati dengan sifat dan nama yang sempurna dan baik, lalu ia mengenal Allah lebih sempurna, maka ia akan lebih memiliki sifat takut dan akan terus bertambah sifat takutnya.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 6: 308).

Para ulama berkata,

من كان بالله اعرف كان لله اخوف

Siapa yang paling mengenal Allah, dialah yang paling takut pada Allah.

Semakin seseorang berilmu, semakin ia memiliki rasa takut pada Allah. Rasa takut inilah yang membentengi seseorang dari maksiat. Ilmu yang dimaksud di sini adalah ilmu dalam mengenal Rabbnya.

Seringkali pula para ulama berkata -di antaranya Asy Sya’bi-,

إنَّمَا الْعَالِمُ مَنْ يَخْشَى اللَّهَ

“Orang yang berilmu, itulah yang punya rasa takut pada Allah”.  Ibnu Mas’ud pernah berkata,

كَفَى بِخَشْيَةِ اللَّهِ عِلْمًا وَكَفَى بِالِاغْتِرَارِ بِاَللَّهِ جَهْلًا

“Cukup rasa takut pada Allah disebut ilmu dan cukup orang yang terbuai dengan karunia Allah disebut bodoh.” (Majmu’ Al Fatawa karya Ibnu Taimiyah, 3: 333)

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

وَإِذَا كَانَ أَهْلُ الْخَشْيَةِ هُمْ الْعُلَمَاءُ الْمَمْدُوحُونَ فِي الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ لَمْ يَكُونُوا مُسْتَحِقِّينَ لِلذَّمِّ وَذَلِكَ لَا يَكُونُ إلَّا مَعَ فِعْلِ الْوَاجِبَاتِ

“Jika orang yang takut pada Allah adalah para ulama, lalu mereka inilah yang terpuji dalam Al Qur’an dan mereka pun tidak dicela, maka merekalah yang biasa menjalankan kewajiban.” (Majmu’ Al Fatawa karya Ibnu Taimiyah, 7: 21)

Ya Allah, karuniakanlah kami ilmu yang bermanfaat. Aamiin yaa mujibas saailin.

---

@ Pesantren Darush Sholihin, Panggang-Gunungkidul, diselesaikan 27 Jumadal Akhiroh 1434 H

www.rumaysho.com

 

Silakan follow status kami via Twitter @RumayshoCom, FB Muhammad Abduh Tuasikal dan FB Fans Page Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat

Antara Bid’ah dan Amalan yang Menyelisihi Sunnah

$
0
0
bidah_hasanahBid’ah dan amalan yang menyelisihi sunnah (tuntunan Rasul) adalah sesuatu yang patut dibedakan. Tidak setiap amalan yang menyelisihi tuntunan Rasul dikategorikan bid’ah.

Menurut para ulama, bid’ah adalah sesuatu yang menyelisihi sunnah dan menjadi kelaziman (keharusan).

Misalnya, setelah shalat wajib ada yang mengangkat tangan untuk berdo’a, apakah hal ini termasuk bid’ah ataukah hal yang menyelisihi sunnah?

Di sini perlu dilihat, apakah amalan tersebut jadi rutinitas (kelaziman) ataukah tidak?

Jika dikerjakan secara rutin dan jadi kelaziman, maka sebagaimana definisi di atas, hal tersebut termasuk bid’ah karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah merutinkannya. Namun jika tidak dijadikan kelaziman, sesekali saja diamalkan, kadang dilakukan, kadang tidak, maka seperti itu hanyalah menyelisihi tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak tergolong bid’ah.

Demikian faedah dari Syaikh Sholih bin ‘Abdul ‘Aziz Alu Syaikh dalam Syarh Fadhlil Islam, hal. 98.

Moga kita semakin cerdas dalam memahami bid’ah atau setiap amalan yang tiada tuntunan. Wallahu waliyyut taufiq.

---

@ Pasar Sapi Imogiri -saat dinner-, Bantul, 29 Jumadal Akhiroh 1434 H

www.rumaysho.com

 

Silakan follow status kami via Twitter @RumayshoCom, FB Muhammad Abduh Tuasikal dan FB Fans Page Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat

Khutbah yang Ringkas

$
0
0
khutbahTips khutbah yang terbaik adalah khutbah yang ringkas, sedangkan shalatnya yang diperlama. Demikian yang dicontohkan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam dan inilah yang patut dicontoh oleh setiap orang yang akan membawakan khutbah.

Dari Jabir bin Samuroh As Suwaiy, beliau berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لاَ يُطِيلُ الْمَوْعِظَةَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ إِنَّمَا هُنَّ كَلِمَاتٌ يَسِيرَاتٌ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa memberi nasehat ketika hari Jum’at tidak begitu panjang. Kalimat yang beliau sampaikan adalah kalimat yang singkat.” (HR. Abu Daud no. 1107. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Lihatlah pula contoh sahabat yang  mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Abu Wa’il berkata,

خَطَبَنَا عَمَّارٌ فَأَبْلَغَ وَأَوْجَزَ فَلَمَّا نَزَلَ قُلْنَا يَا أَبَا الْيَقْظَانِ لَقَدْ أَبْلَغْتَ وَأَوْجَزْتَ فَلَوْ كُنْتَ تَنَفَّسْتَ

‘Ammar pernah berkhutbah di hadapan kami lalu dia menyampaikan (isi khutbahnya) dengan singkat. Tatkala beliau turun (dari mimbar), kami mengatakan, “Wahai Abul Yaqzhon, sungguh engkau telah berkhutbah begitu singkat. Coba kalau engkau sedikit memperlama.”

Kemudian Ammar berkata,

إِنَّ طُولَ صَلاَةِ الرَّجُلِ وَقِصَرَ خُطْبَتِهِ مَئِنَّةٌ مِنْ فِقْهِهِ  فَأَطِيلُوا الصَّلاَةَ وَأَقْصِرُوا الْخُطْبَةَ فَإِنَّ مِنَ الْبَيَانِ سِحْراً

Sesungguhnya panjangnya shalat seseorang dan singkatnya khotbah merupakan tanda kefaqihan dirinya (paham akan agama). Maka perlamalah shalat dan buat singkatlah khutbah. Karena penjelasan itu bisa mensihir.” (HR. Muslim no. 869 dan Ahmad 4: 263. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shohih).

Yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, khutbah dan shalatnya bersifat pertengahan, tidak terlalu panjang dan tidak terlalu pendek. Sebagaimana disebutkan oleh Jabir bin Samuroh, ia berkata,

كُنْتُ أُصَلِّى مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَكَانَتْ صَلاَتُهُ قَصْدًا وَخُطْبَتُهُ قَصْدًا

Aku pernah shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika itu shalat beliau bersifat pertengahan, begitu pula khutbahnya.” (HR. Muslim no. 866).

Jika seorang khotib ingin jadi khotib terbaik, maka teladanilah nabi kita -shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Sebagian khotib terlalu lama dalam menyampaikan isi ceramah, ada yang lebih dari setengah jam bahkan hingga satu jam. Sehingga jama’ah pun menjadi jenuh dan ngantuk-ngantukan. Coba kalau ia pintar merangkai kata lalu membuat khutbah lebih ringkas dan simpel, pasti banyak yang akan menyerap dan memperhatikan. Kisaran waktu 20 menit, ini yang biasa dipraktekkan oleh para imam besar di tanah suci, yang sudah sepatutnya kita -sebagai khotib- jadikan suri tauladan. Ditambah lagi jika si khotib bisa menyampaikan isi khutbahnya dari hati ke hati, tentu lebih meresap lagi khutbah tadi ke dalam jiwa.

Wallahu waliyyut taufiq.

---

@ Pesantren Darush Sholihin, Panggang-Gunungkidul, 29 Jumadal Akhiroh 1434 H

www.rumaysho.com

 

Silakan follow status kami via Twitter @RumayshoCom, FB Muhammad Abduh Tuasikal dan FB Fans Page Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat

Puasa Hari Tertentu di Bulan Rajab

$
0
0
puasa rajabDi awal atau saat memasuki bulan Rajab, sebagian saudara kita ada yang menyebarkan info bahwa puasa Rajab tanggal 1 akan menghapus dosa selama 3 tahun, tanggal 2 akan menghapus dosa 2 tahun, tanggal 3 akan menghapus dosa 1 tahun, tanggal 4 akan menghapus dosa selama 1 bulan, dan amal di bulan rajab akan diberi pahala 70 kali lipat. Adakah anjuran secara khusus puasa awal Rajab?

Hadits Tentang Puasa Rajab

Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Hadits yang menunjukkan keutamaan puasa Rajab secara khusus tidaklah shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.” (Latho’if Al Ma’arif, hal. 213). Ibnu Rajab menjelaskan pula, “Sebagian salaf berpuasa pada bulan haram seluruhnya (bukan hanya pada bulan Rajab saja, pen). Sebagaimana hal ini dilakukan oleh Ibnu ‘Umar, Al Hasan Al Bashri, dan Abu Ishaq As Sabi’iy. Ats Tsauri berkata, “Bulan haram sangat kusuka berpuasa di dalamnya.” (Latho’if Al Ma’arif, hal. 214).

Ibnu Rajab kembali berkata, “Tidak dimakruhkan jika seseorang berpuasa Rajab namun disertai dengan puasa sunnah pada bulan lainnya. Demikian pendapat sebagian ulama Hambali. Seperti misalnya ia berpuasa Rajab disertai pula dengan puasa pada bulan haram lainnya. Atau bisa pula dia berpuasa Rajab disertai dengan puasa pada bulan Sya’ban. Sebagaimana telah disebutkan bahwa Ibnu ‘Umar dan ulama lainnya berpuasa pada bulan haram (bukan hanya bulan Rajab saja). Ditegaskan pula oleh Imam Ahmad bahwa siapa yang berpuasa penuh pada bulan Rajab, maka saja ia telah melakukan puasa dahr yang terlarang (yaitu berpuasa setahun penuh).” (Latho’if Al Ma’arif, hal. 215).

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Setiap hadits yang membicarakan puasa Rajab dan shalat pada sebagian malam (seperti shalat setelah Maghrib pada malam-malam pertama bulan Rajab, pen), itu berdasarkan hadits dusta.” (Al Manar Al Munif, hal. 49).

Penulis Fiqh Sunnah, Syaikh Sayyid Sabiq rahimahullah berkata, “Adapun puasa Rajab, maka ia tidak memiliki keutamaan dari bulan haram yang lain. Tidak ada hadits shahih yang menyebutkan keutamaan puasa Rajab secara khusus. Jika pun ada, maka hadits tersebut tidak bisa dijadikan dalil pendukung.” (Fiqh Sunnah, 1: 401).

Sebagaimana dinukil oleh Sayyid Sabiq dalam Fiqh Sunnah (1: 401), Ibnu Hajar Al Asqolani berkata, “Tidak ada dalil yang menunjukkan keutamaan puasa di bulan Rajab atau menjelaskan puasa tertentu di bulan tersebut. Begitu pula tidak ada dalil yang menganjurkan shalat malam secara khusus pada bulan Rajab. Artinya, tidak ada dalil shahih yang bisa jadi pendukung.”

Syaikh Sholih Al Munajjid hafizhohullah berkata, “Adapun mengkhususkan puasa pada bulan Rajab, maka tidak ada hadits shahih yang menunjukkan keutamaannya atau menunjukkan anjuran puasa saat bulan Rajab. Yang dikerjakan oleh sebagian orang dengan mengkhususkan sebagian hari di bulan Rajab untuk puasa dengan keyakinan bahwa puasa saat itu memiliki keutamaan dari yang lainnya, maka tidak ada dalil yang mendukung hal tersebut.” (Fatwa Al Islam Sual wal Jawab no. 75394)

Puasa Hari Tertentu dari Bulan Rajab

Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia pernah ditanya, “Diketahui bahwa di bulan Rajab dianjurkan untuk melaksanakan puasa sunnah. Apakah puasa tersebut dilakukan di awal, di tengah ataukah di akhir.”

Jawaban dari para ulama yang duduk di komisi tersebut, “Yang tepat, tidaklah ada hadits yang membicarakan puasa khusus di bulan Rajab selain hadits yang dikeluarkan oleh An Nasa-i dan Abu Daud, hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dari hadits Usamah, ia berkata, “Wahai Rasulullah, aku tidaklah pernah melihatmu berpuasa yang lebih bersemangat dari bulan Sya’ban.” Beliau bersabda, “Bulan Sya’ban adalah waktu saat manusia itu lalai, bulan tersebut terletak antara Rajab dan Ramadhan. Bulan Sya’ban adalah saat amalan diangkat pada Allah, Rabb semesta alam. Oleh karenanya, aku suka amalanku diangkat sedangkan aku dalam keadaan berpuasa.” (HR. Ahmad 5: 201, An Nasai dalam Al Mujtaba 4: 201, Ibnu Abi Syaibah (3: 103), Abu Ya’la, Ibnu Zanjawaih, Ibnu Abi ‘Ashim, Al Barudi, Sa’id bin Manshur sebagaimana disebutkan dalam Kanzul ‘Amal 8: 655).

Yang ada hanyalah hadits yang sifatnya umum yang memotivasi untuk melakukan puasa tiga setiap bulannya dan juga dorongan untuk melakukan puasa pada ayyamul bidh yaitu 13, 14, 15 dari bulan hijriyah. Juga dalil yang ada sifatnya umum yang berisi motivasi untuk melakukan puasa pada bulan haram (Dzulqo’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab). Begitu pula ada anjuran puasa pada hari Senin dan Kamis. Puasa Rajab masuk dalam keumuman anjuran puasa tadi. Jika engkau ingin melakukan puasa di bulan Rajab, maka pilihlah hari-hari yang ada dari bulan tersebut. Engkau bisa memilih puasa pada ayyamul bidh atau puasa Senin-Kamis. Jika tidak, maka waktu puasa pun bebas tergantung pilihan. Adapun pengkhususan bulan Rajab dengan puasa pada hari tertentu, kami tidak mengetahui adanya dalil yang mensyari’atkan amalan tersebut.

Hanya Allah yang memberi taufik. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

السؤال : هناك أيام تصام تطوعا في شهر رجب ، فهل تكون في أوله أو وسطه أو آخره؟

جـ:

لم تثبت أحاديث خاصة بفضيلة الصوم في شهر رجب سوى ما أخرجه النسائي وأبو داود وصححه ابن خزيمة من حديث أسامة قال: (( قلت: يا رسول الله، لم أرك تصوم من شهر من الشهور ما تصوم من شعبان، قال: ذلك شهر يغفل عنه الناس بين رجب ورمضان، وهو شهر ترفع فيه الأعمال إلى رب العالمين فأحب أن يرفع عملي وأنا صائم )) [ أحمد (5 / 201)، والنسائي في [المجتبى] (4 / 201)، وابن أبي شيبة (3 / 103)، وأبو يعلى، وابن زنجويه، وابن أبي عاصم، والبارودي، وسعيد بن منصور كما في [كنز العمال] (8 / 655) ]

وإنما وردت أحاديث عامة في الحث على صيام ثلاثة أيام من كل شهر والحث على صوم أيام البيض

من كل شهر وهو الثالث عشر والرابع عشر والخامس عشر والحث على صوم الأشهر الحرم، وصوم يوم الإثنين والخميس، ويدخل رجب في عموم ذلك، فإن كنت حريصا على اختيار أيام من الشهر فاختر أيام البيض الثلاث أو يوم الإثنين والخميس وإلا فالأمر واسع، أما تخصيص أيام من رجب بالصوم فلا نعلم له أصلا في الشرع.

وبالله التوفيق. وصلى الله على نبينا محمد، وآله وصحبه وسلم.

اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء

الرئيس

عبدالعزيز بن عبدالله بن باز

نائب الرئيس

عبد الرزاق عفيفي

عضو

عبد الله بن عبد الرحمن بن غديان

عضو

عبد الله بن قعود

(( المصدر )) : فتاوى اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء - (ج2/ص50

Yang menandatangani fatwa ini: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz selaku ketua, Syaikh ‘Abdurrozaq ‘Afifi selaku wakil ketua, Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman Ghudayan dan Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud selaku anggota. (Sumber Fatwa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’, 2: 50).

 

Baca artikel Rumaysho.com seputar bulan Rajab:

  1. Puasa Khusus di Bulan Rajab
  2. Puasa Khusus di Bulan Rajab berdasarkan Hadits Dhoif dan Palsu
  3. Perayaan Isro' Mi'roj 27 Rajab dalam Tinjauan
  4. Adakah Anjuran Puasa di Bulan Rajab?
  5. Shalat Roghoib, Shalat yang Begitu Melelahkan
  6. Di Balik Bulan Rajab

 

Hanya Allah yang memberi taufik.

---

@ Pesantren Darush Sholihin, Panggang-Gunungkidul, diselesaikan 29 Jumadal Akhiroh 1434 H

www.rumaysho.com

 

Silakan follow status kami via Twitter @RumayshoCom, FB Muhammad Abduh Tuasikal dan FB Fans Page Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat

Banyaknya Karya Ulama dalam Tulisan

$
0
0
semangat menulisBagaimanakah semangat para ulama dalam menulis? Ternyata mereka bisa menghasilkan beribu-ribu lembar bahkan jutaaan lembar. Ini karya mereka bagi umat Islam.
  • Muhammad ibnu Jarir Ath Thobari (wafat: 310 H), penulis kitab Jaami’ul Bayan ‘an Ta’wilil  Ayil Qur’an menulis dalam sehari 40 lembar. Kira-kira beliau seumur hidupnya telah menulis 584.000 lembar.
  • Imam Abul Wafa’ ‘Ali bin ‘Aqil Al Hambali Al Baghdadi  (wafat: 513 H) –manusia tercerdas di jagad raya kata Ibnu Taimiyah-, beliau menulis kitab Al Funun dalam 800 jilid, di mana di dalamnya berisi pembahasan tafsir, fikih, nahwu, ilmu bahasa, sya’ir, tarikh, hikayat dan bahasan lainnya.
  • Imam Abu Hatim Ar Rozi menulis kitab musnad dalam 1000 juz.
  • Ibnul Jauzi (Abul Faroj ‘Abdurrahman bin ‘Ali bin Muhammad Al Jauzi, wafat: 597 H), murid dari Ibnu ‘Aqil, beliau telah menulis 2.000 jilid buku dan buku yang beliau pernah baca adalah 20.000 jilid. Adz Dzahabi sampai mengatakan tentang Ibnul Jauzi bahwa tidak ada yang semisal beliau dalam berkarya.
  • Ibnu Taimiyah menulis dalam sehari sama dengan seseorang yang menyalin dari buku yang menulis dalam waktu satu minggu, bahkan Ibnu Taimiyah bisa melakukan lebih dari itu.

Dinukil dari kitab ‘Uluwul Himmah, karya Syaikh Muhammad Al Muqoddam.

Coba lihat bagaimana semangat para ulama dalam menulis. Artinya, mereka setiap saat selalu menyibukkan diri mereka dengan ilmu. Lihat saja Ibnul Jauzi, hasil karya beliau saja 2000 jilid. Belum lagi beliau membaca, ternyata telah mencapai 20.000 jilid yang dibaca. Kalau kita perkirakan 1 jilid adalah 300 lembar. Berarti yang telah dibaca oleh Ibnul Jauzi sekitar 6 juta lembar dan yang telah ditulis kisaran 600 ribu lembar. Bayangkan saja bagaimana semangat mereka dalam memanfaatkan waktu? Sungguh, di dalam kisah mereka yang sudah tiada terdapat teladan bagi kita yang masih hidup. Marilah kita menorehkan karya besar untuk umat Islam saat ini.

Jadilah orang yang manfaat bagi manusia. Dalam hadits disebutkan,

أَحَبُّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ أَنْفَعَهُمْ لِلنَّاسِ

Manusia yang paling dicintai di sisi Allah adalah yang banyak memberikan kemanfaatan bagi orang lain.” (HR. Thobroni dalam Mu’jam Al Kabir, 12: 453).

Di antara faedah menulis bagi kita:

  • Menulis semakin menjaga ilmu.
  • Menulis semakin menambah ilmu.
  • Menulis semakin membawa faedah bagi orang banyak.
  • Menulis adalah bagian dari berdakwah dengan tulisan.

Semoga kita menjadi orang yang banyak memberikan jasa pada umat Islam di jagad raya.

---

@ Warung Makan Hercules, Pogung Kidul, Utara Fakultas Teknik UGM, Yogyakarta, 1 Rajab 1434 H

www.rumaysho.com

 

Silakan follow status kami via Twitter @RumayshoCom, FB Muhammad Abduh Tuasikal dan FB Fans Page Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat

Mahasiswa yang Tak Kenal Agama

$
0
0

Sayang sekali jika ada mahasiswa yang sampai duduk di bangku kuliah tidak bisa baca Al Qur’an, tidak kenal shalat, bahkan tidak kenal akidah yang benar. In the fact, tidak sedikit yang seperti itu. Cuma modal kecerdasan dan kekayaan mudah masuk kuliah, namun pengetahuan agama sangat kurang.

Sangat Menyayangkan Jika Tidak Paham Agama

Coba bayangkan jika orang yang cerdas tapi shalat saja tidak dimengerti, Qur’an saja tidak bisa dibaca, apa keuntungannya kecerdasan yang ia miliki?

Kita sering saksikan bahwa banyak yang tidak paham agama yang membuat kerusakan. Beda jika yang paham agama, mereka punya akhlak mulia dan akidah yang lurus. Seorang engineer yang tidak paham syirik, ketika ingin mendirikan jembatan, ia senang-senang saja memenuhi tumbal kepala kebo. Padahal bentuk tumbal pada penjaga jembatan (jin), itu termasuk syirik. Insinyur tadi tidak mengetahui kalau hal tersebut termasuk kesyirikan karena sampai kuliah pun tidak paham agama.

Begitu pula dengan seorang pegawai negeri, ketika di bangku kuliah tidak memahami agama, bisa saja ketika kerja mudah menerima suap atau uang tips, dan menganggap sah-sah saja, padahal sebenarnya hal itu bermasalah dalam hukum Islam. Harta yang dikumpulkan pun tidak berkah karena dari harta haram. Lihatlah tentu beda antara yang paham agama dan yang tidak paham agama. Allah Ta’ala berfirman,

هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ

Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (QS. Az Zumar: 9).

Tentang ayat di atas, Syaikh ‘Abdurrahman As Sa’di berkata,

لا يستوي هؤلاء ولا هؤلاء، كما لا يستوي الليل والنهار، والضياء والظلام، والماء والنار.

“Tentu tidak sama antara mereka dan mereka (yang berilmu dan tidak berilmu). Sebagaimana tidak sama antara malam dan siang, tidak sama antara terang dan kegelapan, begitu pula tidak sama antara air dan api.”

Keunggulan Mahasiswa yang Paham Agama

Orang yang paham agama akan selalu mendapatkan kebaikan sebagaimana disebutkan dalam hadits, dari Mu’awiyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّينِ

Barangsiapa yang Allah kehendaki mendapatkan seluruh kebaikan, maka Allah akan memahamkan dia tentang agama.” (HR. Bukhari no. 71 dan Muslim no. 1037). Artinya, yang tidak paham agama, sulit kebaikan menghampirinya.

Begitu pula orang yang paham agama akan semakin mengenal Allah. Jika semakin mengenal Rabbnya, maka ia akan semakin takut pada Allah. Jika semakin takut pada-Nya, maka tentu ia pun takut mendurhakai Rabbnya dengan bermaksiat. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ

Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama” (QS. Fathir: 28).

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Sesungguhnya yang paling takut pada Allah dengan takut yang sebenarnya adalah paham agama. Karena semakin seseorang mengenal Allah Yang Maha Agung, Maha Mampu, Maha Mengetahui dan Dia disifati dengan sifat dan nama yang sempurna dan baik, lalu ia mengenal Allah lebih sempurna, maka ia akan lebih memiliki sifat takut dan akan terus bertambah sifat takutnya.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 6: 308).

Para ulama berkata,

من كان بالله اعرف كان لله اخوف

Siapa yang paling mengenal Allah, dialah yang paling takut pada Allah.

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

وَإِذَا كَانَ أَهْلُ الْخَشْيَةِ هُمْ الْعُلَمَاءُ الْمَمْدُوحُونَ فِي الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ لَمْ يَكُونُوا مُسْتَحِقِّينَ لِلذَّمِّ وَذَلِكَ لَا يَكُونُ إلَّا مَعَ فِعْلِ الْوَاجِبَاتِ

“Jika orang yang takut pada Allah adalah para ulama, lalu mereka inilah yang terpuji dalam Al Qur’an dan mereka pun tidak dicela, maka merekalah yang biasa menjalankan kewajiban.” (Majmu’ Al Fatawa karya Ibnu Taimiyah, 7: 21)

Tidak Ada Kata Terlambat

Sekarang jika seorang mahasiswa tidak paham agama dan ingin belajar, tidak ada kata terlambat. Tidak sedikit dari ulama yang mengenal Islam juga ketika sudah di usia senja. Sedangkan sebagai mahasiswa, Anda masih dalam masa semangat dan masa masih bisa berpikir cerdas.

Coba lihat kisah Ibnu Hazm, ia ternyata baru mengenal Islam ketika usia 26 tahun. Usia seperti itu pun, ia ternyata masih belum mengenal cara shalat yang benar. Sehingga ketika dikritik karena di usia segitu belum mengenal shalat dengan baik, ia pun lantas bertekad belajar keras. Ia pun mencari guru-guru yang bisa ia ambil ilmunya. Akhirnya, dalam waktu 3 tahun, ia bisa mumpuni dalam ilmu agama sampai bisa diajak diskusi. Kisah ini disebutkan dalam kitab ‘Uluwwul Himmah karya Syaikh Muhammad Al Muqoddam.

Jika sebagai mahasiswa ingin belajar keras memahami agama, meski dari “0”, maka pasti Allah mudahkan. Karena tidak mungkin Allah menyia-nyiakan di antara hambanya yang ingin menjadi baik. Coba mulai dari mempelajari akidah, mempelajari Al Qur’an, fikih ibadah harian, dan berbagai ibadah sederhana. Semoga Allah mudahkan.

Kenal Ilmu Dunia Saja, Lantas Lupa Akhirat

Jangan jadi orang yang hanya kenal ilmu dunia saja, namun lupa akan ilmu akhirat. Allah Ta’ala berfirman,

يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآَخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ

Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” (QS. Ar Ruum: 7)

Gunakanlah nikmat dunia yang Allah karuniakan untuk menggapai akhirat kita,

وَابْتَغِ فِيمَا آَتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآَخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi” (QS. Al Qashshash: 77). Ibnu Katsir berkata, “Gunakanlah yang telah Allah anugerahkan untukmu dari harta dan nikmat yang besar untuk taat pada Rabbmu dan membuat dirimu semakin dekat pada Allah dengan berbagai macam ketaatan. Dengan ini semua, engkau dapat menggapai pahala di kehidupan akhirat.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 6: 37).

Hanya Allah yang memberi taufik.

---

Ditulis oleh Alumni Teknik UGM (2002-2007) dan Polymer Engineering KSU (2010-2013)

Diselesaikan di Pesantren Al I’tishom Puteri, Playen, Gunungkidul, 2 Rajab 1434 H

www.rumaysho.com

Tak Sanggup Menghitung Nikmat Allah

$
0
0
syukur_nikmat_AllahNikmat Allah sungguh tak sanggup untuk dihitung. Jika demikian, maka bentuk syukur kita pun masih terus mengalami kekurangan. Di awal surat An Nahl, disebutkan berbagai nikmat. Di antara nikmat yang disebutkan adalah hewan ternak, turunnya hujan, tumbuhnya berbagai tanaman (zaitun, kurma, dan anggur), beralihnya malam dan siang, adanya laut untuk mencari karunia Allah, adanya gunung-gunung yang dijadikan sebagai pasak agar bumi tidak bergoncang dan adanya bintang sebagai petunjuk arah.

Kemudian setelah menyebutkan berbagai nikmat tersebut, Allah Ta’ala berfirman,

وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا إِنَّ اللَّهَ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ

Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An Nahl: 18).

Yang dimaksud dengan ayat ini disebutkan dalam Tafsir Al Jalalain (hal. 278), “Jika kalian tidak mampu menghitungnya, lebih-lebih untuk mensyukuri semuanya. Namun kekurangan dan kedurhakaan kalian masih Allah maafkan (bagi yang mau bertaubat, -pen), Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Ibnu Katsir juga menjelaskan dalam kitab tafsirnya (4: 675), “Allah benar-benar memaafkan kalian. Jika kalian dituntut unutk mensyukuri semua nikmat yang Allah beri, tentu kalian tidak mampu mensyukurinya. Jika kalian diperintah untuk mensyukuri seluruh nikmat tersebut, tentu kalian tidak mampu dan bahkan enggan untuk bersyukur. Jika Allah mau menyiksa, tentu bisa dan itu bukan tanda Allah itu zholim. Akan tetapi, Allah masih mengampuni dan mengasihi kalian. Allah mengampuni kesalahan yang banyak lagi memaafkan bentuk syukur kalian yang sedikit.”

Imam Ibnu Jarir Ath Thobari berkata, “Sesungguhnya Allah memaafkan kekurangan kalian dalam bersyukur. Jika kalian bertaubat, kembali taat dan ingin menggapai ridho Allah, Dia sungguh menyayangi kalian dengan ia tidak akan menyiksa kalian setelah kalian betul-betul bertaubat.” Demikian beliau sebutkan dalam Jami’ul Bayan fii Ta’wil Ayyil Qur’an, 8: 119.

Muhammad Al Amin Asy Syinqithi menjelaskan, “Dalam ayat ini dijelaskan bahwa manusia tidak mampu menghitung nikmat Allah karena begitu banyaknya. Lalu setelahnya Allah sebutkan bahwa Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Ini menunjukkan atas kekurangan manusia dalam bersyukur terhadap nikmat-nikmat tersebut. Namun Allah masih mengampuni siapa saja yang bertaubat pada-Nya. Allah akan mengampuni setiap orang yang memiliki kekurangan dalam bersyukur terhadap nikmat. Hal ini diisyaratkan pula dalam ayat,

وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ

Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (QS. Ibrahim: 34). Setiap nikmat memang dari Allah sebagaimana disebutkan dalam ayat lainnya dari surat An Nahl,

وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ

Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya)” (QS. An Nahl : 53). (Lihat Adhwaul Bayan, 3: 231).

Dalam ayat ini pula, Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi memberikan pelajaran kaedah bahasa Arab bahwa isim mufrod jika disandarkan pada isim ma’rifah, maka menunjukkan makna umum. Semisal dalam ayat ini kata “ni’mat Allah”. Nikmat itu mufrod (tunggal), lafazh jalalah “Allah” adalah isim ma’rifah. Jadi yang dimaksud adalah seluruh nikmat, bukan hanya satu nikmat saja.

Ya Allah, kami bersyukur kepada-Mu sebanyak nikmat yang disyukuri oleh orang-orang yang bersyukur dalam setiap lisan dan setiap waktu.

Semoga kita jadi hamba Allah yang pandai bersyukur. Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

---

Dimulai ditulis @ Siluk, Imogiri, Bantul saat dinner, 4 Rajab 1434 H

www.rumaysho.com

 

Silakan follow status kami via Twitter @RumayshoCom, FB Muhammad Abduh Tuasikal dan FB Fans Page Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat


Ibadah dan Umrah di Bulan Rajab

$
0
0
ibadah_umrah_rajabSebagian saudara kita ada yang mengkhususkan ibadah tertentu di bulan Rajab, seperti ibadah puasa dan shalat. Ada yang melaksanakan puasa di awal-awal bulan, bahkan ada yang bertekad berpuasa penuh. Bagaimana sebenarnya tuntunan Islam mengenai ibadah di bulan Rajab? Lalu adakah umrah khusus di bulan Rajab?

Ada yang bertanya pada Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz bahwa di bulan Rajab ternyata banya sekali amalan tanpa tuntunan yang tersebar. Apakah ada nasehat berharga dari Syaikh Ibnu Baz tentang amalan yang tiada tuntunan ini dan bagaimana tentang ibadah yang dituntunkan di bulan ini?

Syaikh Ibnu Baz rahimahullah menjawab, “Tidak ada tuntunan ibadah khusus di bulan Rajab. Namun tidak mengapa jika melaksanakan umrah kala itu. Karena para salaf dahulu berumrah di bulan Rajab. Ada dalil shahih dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma yang menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan umrah di bulan Rajab. Maka umrah di bulan Rajab tidaklah mengapa. Adapun pengkhususan dengan ibadah lainnya di bulan Rajab, maka tidak ada pendukung dalil. Akan tetapi jika bulan Rajab diperlakukan seperti bulan lainnya, yaitu melaksanakan shalat seperti biasanya, puasa seperti biasanya selama tiga hari setiap bulannya, atau melaksanakan puasa Senin-Kamis seperti di bulan lainnya, dan itu bukan maksud mengkhususkannya pada bulan Rajab, maka tidaklah mengapa. Begitu pula tidak mengapa mengkhususkan umrah pada bulan Rajab.”

ج : شهر رجب ليس له سنن ، لكن لا بأس بالعمرة فيه ، فقد كان السلف يعتمرون في رجب ، وثبت عن ابن عمر رضي الله عنهما أنه قال

(الجزء رقم : 3، الصفحة رقم: 104)

إن النبي صلى الله عليه وسلم اعتمر في رجب  ، فالعمرة في رجب لا بأس فيها ، أما تخصيصه بعبادة أخرى فلا أصل لذلك ، ولكن كسائر الشهور ، إذا صلّى فيه ، أو صام منه ثلاثة أيام من كل شهر ، أو صام الاثنين والخميس ، مثل بقية الشهور ، لا يخص منه شيئا إلا إذا اعتمر فيه فلا بأس .

المصدر : فتاوى نور على الدرب

[Sumber: Fatwa Nur ‘Ala Ad Darb, 3: 103-104]

Tentang umrah Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- di bulan Rajab disebutkan dalam hadits,

اعْتَمَرَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- أَرْبَعَ عُمَرٍ إِحْدَاهُنَّ فِى رَجَبٍ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan umrah empat kali salah satunya di bulan Rajab.” (HR. Bukhari no. 1776 dan Muslim no. 1255)

Bagi yang mampu melaksanakan umrah di bulan Rajab, sangat baik sekali untuk melaksanakannya. Semoga Allah mudahkan untuk terus beramal sholih.

---

@ Pesantren Darush Sholihin, Panggang-Gunungkidul, diselesaikan 4 Rajab 1434 H

www.rumaysho.com

 

Silakan follow status kami via Twitter @RumayshoCom, FB Muhammad Abduh Tuasikal dan FB Fans Page Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat

Menanam Kepala Kerbau Saat Pembangunan

$
0
0
syirik_tumbal_sembelihanMenanam kepala kerbau jadi hal yang biasa ketika peletakan batu pertama saat pembangunan gedung atau jembatan. Bahkan tradisi seperti ini masih kita temukan di zaman super canggih seperti saat ini, juga dapat ditemukan di kota-kota besar, bukan hanya di perkampungan. Ritual ini pun dihadiri kyai lokal yang biasa jadi pendukung tradisi yang sebenarnya jauh dari Islam. Bagaimana sebenarnya pandangan Islam mengenai ritual semacam ini?

Dasar Ritual Menanam Kepala Kerbau

Adat menanam kepala kerbau sewaktu membangun suatu bangunan seperti jembatan atau gedung maupun rumah berasal dari keyakinan sebagian masyarakat kita terhadap adanya Dewa Air dan Dewa Tanah yang berkuasa atas keselamatan dan bahaya manusia. Menurut keyakinan ini, agar kedua Dewa tersebut tidak mengganggu orang yang menempati bangunan atau penggunanya, maka orang yang membangun harus memberikan sesaji dengan menanam kepala kerbau. Keyakinan seperti ini jelas bertentangan dengan akal sehat, selain itu menyalahi akidah Islam yang lurus dan tidak sesuai dengan syari’at. (Sumber: Majalah.hidayatullah.com)

Kesyirikan di Balik Sembelihan kepada Selain Allah

Sembelihan atau tumbal adalah suatu ibadah. Jika suatu ibadah dipalingkan kepada selain Allah, maka disebut syirik. Pelakunya disebut musyrik. Sedangkan jika sampai ashlul iman (pokok iman) yang hilang dalam pemalingan ibadah tersebut -seperti seseorang yang menjadikan sembelihan pada selain Allah-, maka terjatuh dalam syirik akbar (syirik besar). Konsekuensinya menyebabkan pelakunya keluar dari Islam dan kekal dalam neraka jika dosa tersebut tidak ditaubati.

Bagaimana sisi syirik sembelihan atau tumbal pada selain Allah?

Kita dapat melihat dari beberapa dalil berikut ini.

1- Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam” (QS. Al An’am: 162).

Yang dimaksud nusuk dalam ayat di atas adalah segala bentuk taqorrub (pendekatan diri) pada Allah, namun umumnya yang dimaksud adalah penyembelihan. Demikian kata Az Zujaj sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Jauzi dalam Zaadul Masiir, 3: 161. Dalam ayat ini digandengkan dengan perkara shalat. Sebagaimana seseorang tidak boleh shalat kepada selain Allah, begitu pula dalam hal menyembelih tidak boleh ditujukan pada selain Allah.

2- Allah Ta’ala berfirman,

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah (menyembelihlah)” (QS. Al Kautsar: 2). Menyembelih dalam ayat di atas digandengkan dengan shalat. Dan ibadah badan yang paling utama adalah shalat, sedangkan ibadah maal (harta) yang paling utama adalah penyembelihan. Demikian disebutkan dalam Taisirul ‘Azizil Hamid, 1: 420.

3- Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَلَعَنَ اللَّهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللَّهِ

Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah” (HR. Muslim no. 1978). Abus Sa’adaat berkata bahwa asal laknat adalah jauh dari (rahmat) Allah. Jika dimaksud laknat dari makhluk, maksudnya adalah celaan dan do’a kejelekan. (Dinukil dari Taisirul ‘Azizil Hamid, 1: 421).

Perkataan Ulama Tentang Tumbal pada Selain Allah

Imam Nawawi rahimahullah berkata,

. وَأَمَّا الذَّبْح لِغَيْرِ اللَّه فَالْمُرَاد بِهِ أَنْ يَذْبَح بِاسْمِ غَيْر اللَّه تَعَالَى كَمَنْ ذَبَحَ لِلصَّنَمِ أَوْ الصَّلِيب أَوْ لِمُوسَى أَوْ لِعِيسَى صَلَّى اللَّه عَلَيْهِمَا أَوْ لِلْكَعْبَةِ وَنَحْو ذَلِكَ ، فَكُلّ هَذَا حَرَام ، وَلَا تَحِلّ هَذِهِ الذَّبِيحَة ، سَوَاء كَانَ الذَّابِح مُسْلِمًا أَوْ نَصْرَانِيًّا أَوْ يَهُودِيًّا ، نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيّ ، وَاتَّفَقَ عَلَيْهِ أَصْحَابنَا ، فَإِنْ قَصَدَ مَعَ ذَلِكَ تَعْظِيم الْمَذْبُوح لَهُ غَيْر اللَّه تَعَالَى وَالْعِبَادَة لَهُ كَانَ ذَلِكَ كُفْرًا ، فَإِنْ كَانَ الذَّابِح مُسْلِمًا قَبْل ذَلِكَ صَارَ بِالذَّبْحِ مُرْتَدًّا

“Adapun penyembelihan pada selain Allah, maka yang dimaksud adalah menyembelih dengan nama selain Allah seperti menyembelih atas nama berhala, salib, Musa, ‘Isa, Ka’bah dan semacamnya. Semua penyembelihan seperti ini haram. Tidak halal sama sekali penyembelihan semacam itu, baik yang menyembelih adalah seorang muslim, nashrani atau yahudi. Demikian ditegaskan oleh Imam Asy Syafi’i dan disepakati pula oleh pengikut Syafi’i. Namun jika yang dimaksud adalah pengagungan kepada selain Allah dengan sembelihan tersebut dan sebagai bentuk ibadah pada selain Allah tersebut, maka itu suatu bentuk kekufuran. Jika yang menyembelih sebelumnya adalah muslim, maka ia jadi murtad karena sembelihan tersebut.” (Syarh Shahih Muslim, 13: 141).

Namun sangat disayangkan, yang mengaku bermadzhab Syafi’i tidak memahami hal ini, mereka masih terus melestarikan tradisi syirik seperti tumbal dan sesajian. Padahal imam mereka seperti Imam Nawawi memperingatkan keras masalah syirik.

Salah satu menteri di Kerajaan Saudi Arabia, Syaikh Sholih bin ‘Abdul ‘Aziz Alu Syaikh hafizhohullah menjelaskan, “Barangsiapa yang menyembelih dengan nama Allah untuk Allah, maka ia berarti telah beristi’anah (meminta tolong) pada Allah. Juga maksud atau niatan sembelihannya pun hanya untuk Allah. Oleh karenanya bisa kita rinci, penyembelihan dibagi menjadi empat macam:

1- Menyembelih dengan nama Allah dan niatan untuk Allah, inilah yang dikatakan bertauhid.

2- Menyembelih dengan nama Allah namun niatan untuk selain Allah, ini disebut syirik dalam ibadah.

3- Menyembelih dengan nama selain Allah dan niatannya juga untuk selain Allah, ini termasuk syirik dalam isti’anah (permintaan tolong) dan syirik dalam ibadah.

4- Menyembelih dengan nama selain Allah, namun niatannya untuk Allah, ini termasuk syirik dalam rububiyyah.” (Lihat At Tamhid lisyarh Kitabit Tauhid, hal. 165).

Sesaji dengan Lalat Saja Bisa Menjerumuskan dalam Neraka

Ada sebuah hadits yang bisa jadi renungan kita bahwa perkara syirik walau sesaji dengan hal sepele tetap dianggap masalah besar di sisi Allah. Perhatikan hadits berikut ini,

عن طارق بن شهاب، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: (دخل الجنة رجل في ذباب، ودخل النار رجل في ذباب) قالوا: وكيف ذلك يا رسول الله؟! قال: (مر رجلان على قوم لهم صنم لا يجوزه أحد حتى يقرب له شيئاً، فقالوا لأحدهما قرب قال: ليس عندي شيء أقرب قالوا له: قرب ولو ذباباً، فقرب ذباباً، فخلوا سبيله، فدخل النار، وقالوا للآخر: قرب، فقال: ما كنت لأقرب لأحد شيئاً دون الله عز وجل، فضربوا عنقه فدخل الجنة

Dari Thariq bin Syihab, (beliau menceritakan) bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Ada seorang lelaki yang masuk surga gara-gara seekor lalat dan ada pula lelaki lain yang masuk neraka gara-gara lalat.” Mereka (para sahabat) bertanya, “Bagaimana hal itu bisa terjadi wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Ada dua orang lelaki yang melewati suatu kaum yang memiliki berhala. Tidak ada seorangpun yang diperbolehkan melewati daerah itu melainkan dia harus berkorban (memberikan sesaji)  sesuatu untuk berhala tersebut. Mereka pun mengatakan kepada salah satu di antara dua lelaki itu, “Berkorbanlah.” Ia pun menjawab, “Aku tidak punya apa-apa untuk dikorbankan.” Mereka mengatakan, “Berkorbanlah, walaupun hanya dengan seekor lalat.” Ia pun berkorban dengan seekor lalat, sehingga mereka pun memperbolehkan dia untuk lewat dan meneruskan perjalanan. Karena sebab itulah, ia masuk neraka. Mereka juga memerintahkan kepada orang yang satunya, “Berkorbanlah.” Ia menjawab, “Tidak pantas bagiku berkorban untuk sesuatu selain Allah ‘azza wa jalla.” Akhirnya, mereka pun memenggal lehernya. Karena itulah, ia masuk surga.” (Dikeluarkan oleh Ahmad dalam Az Zuhud)[1]

Walau sepele hanya sesaji dengan seekor lalat bisa menyebabkan masuk neraka, bagaimana lagi jika tumbalnya dengan kepala sapi atau kebo seperti yang kita lihat dalam berbagai ritual peletakkan batu pertama ketika mendirikan bangunan atau jembatan?! Hadits lalat di atas juga menunjukkan bahwa dosa walau disangka itu sepele, namun bisa jadi menimbulkan bahaya besar. Maka benarlah kata Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu,

إِنَّكُمْ لَتَعْمَلُونَ أَعْمَالاً هِىَ أَدَقُّ فِى أَعْيُنِكُمْ مِنَ الشَّعَرِ ، إِنْ كُنَّا نَعُدُّهَا عَلَى عَهْدِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - الْمُوبِقَاتِ

Sesungguhnya kalian mengerjakan amalan (dosa) di hadapan mata kalian tipis seperti rambut, namun kami (para sahabat) yang hidup di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menganggap dosa semacam itu dosa besar” (Diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam kitab Shahihnya no. 6492).

Jangan Jadi Insinyur Musyrik

Sebagian insinyur bangunan tidak memahami kesyirikan di atas. Mereka hanya manut pada permintaan masyarakat atau permintaan kyai. Padahal sangat nampak sekali syirik dan jauhnya perbuatan tersebut dari ajaran Islam. Karena ajaran Islam sangat mengagungkan Allah, tidak menyekutukan Allah dalam ibadah. Dari sini, seorang insinyur pun semestinya memahami apa yang dimaksud syirik. Karena syirik itu bukan hanya meyakini ada pencipta selain Allah. Namun syirik yang jadi pembeda orang musyrik dengan umat Islam di masa Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- adalah kesyirikan dalam hal ibadah. Setiap Nabi sudah mewanti-wanti kesyirikan ini dari zaman ke zaman. Dakwah anti syirik, itulah yang menjadi dakwah para Nabi sebagaimana disebutkan dalam ayat,

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu (segala sesuatu yang disembah selain Allah)” (QS. An Nahl: 36).

Semoga Allah memberikan petunjuk pada kita untuk senantiasa berada di atas tauhid dan menjauhi kesyirikan.

---

@ Pesantren Darush Sholihin, Panggang-Gunungkidul, 5 Rajab 1434 H

www.rumaysho.com

 

Silakan follow status kami via Twitter @RumayshoCom, FB Muhammad Abduh Tuasikal dan FB Fans Page Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat

 



[1] Dikeluarkan oleh Ahmad dalam Az Zuhud hal. 15, dari Thoriq bin Syihab dari Salman Al Farisi radhiyallahu ‘anhu. Hadits tersebut dikeluarkan pula oleh Abu Nu’aim dalam Al Hilyah 1: 203, Ibnu Abi Syaibah dalam mushonnafnya 6: 477, 33028. Hadits ini mauquf shahih, hanya sampai sahabat. Lihat tahqiq Syaikh ‘Abdul Qodir Al Arnauth terhadap Kitab Tauhid karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab hal. 49, terbitan Darus Salam.

Al Hafizh mengatakan bahwa jika Thoriq bertemu Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, maka ia adalah sahabat. Kalau tidak terbukti ia mendengar dari Nabi, maka riwayatnya adalah mursal shohabiy dan seperti itu maqbul atau diterima menurut pendapat yang rojih (terkuat). Ibnu Hibban menegaskan bahwa Thoriq wafat tahun 38 H. Lihat Fathul Majid, hal. 161, terbitan Darul Ifta’.

Hukum Jual Beli Air Kemasan

$
0
0
jual_beli_air_kemasanApa hukum jual beli air kemasan? Apakah dibolehkan ataukah terlarang? Apa hal ini termasuk dalam jual beli air yang terlarang dalam hadits? Untuk memahaminya, mari kita lihat penjelasan para ulama mengenai pembagian air yang telah dimiliki.

Air bisa terbagi menjadi tiga:

1- Air yang jadi milik umum

Contohnya adalah air laut dan air sungai. Air semacam ini tidaklah dimiliki pihak tertentu.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkatas, “Pada dasarnya, Allah menciptakan air itu untuk dimanfaatkan bersama antara manusia dan hewan. Allah menjadikan air sebagai minuman untuk semua makhluk-Nya. Oleh karenanya, tidak ada orang yang lebih berhak atas air daripada orang lain, meski sumber air tersebut ada di dekatnya.” (Zaadul Ma’ad, 5: 708).

Dalam hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِى ثَلاَثٍ فِى الْكَلإِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ

Kaum muslimin itu berserikat (dalam kepemilikan) pada tiga hal: rerumputan (yang tumbuh di tanah tak bertuan), air (air hujan, mata air, dan air sungai), dan kayu bakar (yang dikumpulkan manusia dari pepohonan).” (HR. Abu Daud no. 3477 dan Ahmad 5: 346. Syaikh Syu’aib Al Arnauth dan Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Lihat penjelasan Al Baydhowi yang dinukil oleh Al Munawi dalam Faidhul Qodir 6: 271).

2- Air yang tertampung di sumur setelah digali atau air hujan yang ditampung di suatu tempat milik seseorang. Orang yang menampung itulah yang lebih berhak daripada orang lain. Namun ia tidak boleh menjual air tersebut sebelum ditampung. Air jenis ini boleh dimanfaatkan lebih dahulu, lalu diizinkan yang lain memanfaatkannya.

Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يُمْنَعُ فَضْلُ الْمَاءِ لِيُمْنَعَ بِهِ الْكَلأُ

Tidak boleh menghalangi orang yang mau memanfaatkan air yang menjadi sisa kebutuhan pemilik sumur, dengan tujuan agar tidak ada orang yang menggembalakan ternaknya di padang rumput yang tidak memiliki sumur.” (HR. Bukhari no. 2353 dan Muslim no. 1566).

3- Air yang telah dikumpulkan di wadah atau kemasan. Air seperti ini sudah jadi milik perseorangan. Sebagaimana kayu bakar yang dikumpulkan dan dipikul sudah jadi milik orang yang mengusahakan hal tersebut. Dalam hadits Abu Hurairah disebutkan,

لأَنْ يَحْتَطِبَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ أَحَدًا ، فَيُعْطِيَهُ أَوْ يَمْنَعَهُ

Seseorang mengumpulkan seikat kayu bakar di punggungnya lebih baik dari seseorang yang meminta-minta lantas ia diberi atau ada yang tidak memberi.” (HR. Bukhari no. 2074 dan Muslim no. 1042).

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Orang yang memasukkan air ke dalam wadah (kemasan) miliknya itu tidak termasuk  yang terlarang dalam hadits. Air yang sudah kita masukkan ke dalam wadah milik kita itu semisal dengan barang-barang yang aslinya adalah milik umum namun sudah kita pindah ke dalam kekuasaan kita lalu ingin kita jual, semisal kayu bakar yang diambil dari hutan, seikat rumput yang kita kumpulkan, dan garam yang kita ambil dari laut.” (Zaadul Ma’ad, 5: 708).

Semoga ilmu sederhana ini bermanfaat. Hanya Allah yang memberi petunjuk hidayah.

 

Referensi utama:

Al Mukhtashor fil Mu’amalaat, Syaikh Prof. Dr. Kholid bin ‘Ali bin Muhammad Al Musyaiqih (guru besar di Fakultas Syari’ah Universitas Qoshim Saudi Arabia), terbitan Maktabah Ar Rusyd, cetakan pertama, tahun 1431 H, hal.7.

 

@ Pesantren Darush Sholihin, Panggang-Gunungkidul, 5 Rajab 1434 H

www.rumaysho.com

 

Silakan follow status kami via Twitter @RumayshoCom, FB Muhammad Abduh Tuasikal dan FB Fans Page Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat

Darah Nifas Keluar Setelah Melahirkan

$
0
0
darah nifasDalam fikih Syafi’i telah dijelaskan yang dimaksud darah nifas adalah darah yang keluar setelah melahirkan, bukan keluar sebelumnya.

Ahmad bin Al Husain Al Ashfahaniy Asy Syafi’i atau yang kita kenal dengan Abu Syuja’ mengatakan dalam Matan Taqrib,

والنفاس : هو الدم الخارج عقب الولادة

“Nifas adalah darah yang keluar setelah melahirkan.” (Mukhtashor Abi Syuja’, hal. 63).

Muhammad bin Qosim Al Ghozzi, penulis Fathul Qoriib atau Al Qoulul Mukhtar (penjelasan dari Matan Taqrib) berkata, “Darah yang keluar bersama anak atau keluar sebelumnya tidaklah disebut darah nifas. Darah tersebut termasuk darah fasad (darah yang rusak).” (Lihat Hasyiyah ‘alal Qoulil Mukhtar, 1: 98).

Disebutkan pula dalam Al Iqna’ (1: 177) bahwa secara bahasa nifas itu berarti melahirkan anak. Secara istilah nifas adalah darah yang keluar setelah melahirkan, setelah isi rahim dari hamil itu keluar. … Tidak disebut darah nifas jika sebagai tanda akan melahirkan, darah tersebut termasuk darah fasad (darah rusak).

Hal yang serupa dengan penjelasan di atas disebutkan dalam Kifayatul Akhyar, hal. 116.

Pakar fikih Syafi’i saat ini, Syaikh Prof. Dr. Musthofa Al Bugho hafizhohullah mengatakan, “Darah yang keluar di tengah-tengah rasa sakit hendak melahirkan atau berbarengan saat keluarnya bayi, tidaklah disebut darah nifas karena darah itu keluar sebelum keluarnya anak. Darah seperti itu tergolong darah fasad (rusak). Oleh karena itu, masih tetap wajib shalat saat terasa ‘mules’ (sakit) hendak melahirkan walau terlihat darah saat itu. Jika tidak mampu shalat ketika itu, maka shalatnya wajib diqodho’.” (Al Fiqhul Manhaji, hal. 82).

Pendapat di atas juga menjadi pegangan ulama Hanafiyah dan juga Malikiyah. Berbeda halnya dengan ulama Hambali. Mereka menganggap bahwa darah nifas itu sudah dimulai ketika muncul darah saat merasakan nyeri, mules atau sakit hendak melahirkan meskipun dua atau tiga hari sebelumnya. Lihat pembahasan dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah dalam kata “nifas”.

Kesimpulannya, darah nifas teranggap setelah melahirkan -berdasarkan kesepakatan para ulama-, atau bersamaan dengan melahirkan menurut pendapat jumhur (mayoritas ulama), bukan sebelum melahirkan menurut pendapat yang lebih kuat.

Wallahu a’lam bish showwab. Semoga yang singkat ini bermanfaat bagi para ibu yang akan melahirkan.

---

@ Pesantren Darush Sholihin, Panggang-Gunungkidul, 6 Rajab 1434 H

www.rumaysho.com

 

Silakan follow status kami via Twitter @RumayshoCom, FB Muhammad Abduh Tuasikal dan FB Fans Page Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat

Dibangkitkan Sesuai dengan Niat

$
0
0
dibangkitkan_niatNiat dalam beramal memegang peranan penting. Ketika suatu kaum disiksa dan siksaan tersebut menimpa pula orang-orang sholih, maka nanti yang diperhatikan adalah niatan mereka. Di dunia, mereka bisa jadi mendapatkan azab yang sama. Namun di akhirat, mereka akan dibangkitkan sesuai dengan niat mereka.

‘Aisyah berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« يَغْزُو جَيْشٌ الْكَعْبَةَ ، فَإِذَا كَانُوا بِبَيْدَاءَ مِنَ الأَرْضِ يُخْسَفُ بِأَوَّلِهِمْ وَآخِرِهِمْ » . قَالَتْ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ يُخْسَفُ بِأَوَّلِهِمْ وَآخِرِهِمْ ، وَفِيهِمْ أَسْوَاقُهُمْ وَمَنْ لَيْسَ مِنْهُمْ . قَالَ « يُخْسَفُ بِأَوَّلِهِمْ وَآخِرِهِمْ ، ثُمَّ يُبْعَثُونَ عَلَى نِيَّاتِهِمْ »

Akan ada satu kelompok pasukan yang hendak menyerang Ka’bah, kemudian setelah mereka berada di suatu tanah lapang, mereka semuanya dibenamkan ke dalam perut bumi dari orang yang pertama hingga orang yang terakhir.” ‘Aisyah berkata, saya pun bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah semuanya dibenamkan dari yang pertama sampai yang terakhir, sedangkan di tengah-tengah mereka terdapat para pedagang serta orang-orang yang bukan termasuk golongan mereka (yakni tidak berniat ikut menyerang Ka’bah)?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Mereka semuanya akan dibenamkan dari yang pertama sampai yang terakhir, kemudian nantinya mereka akan dibangkitkan sesuai dengan niat mereka.” (HR. Bukhari no. 2118 dan Muslim no. 2884, dengan lafazh Bukhari).

Imam Nawawi membawakan hadits di atas dalam kitab Riyadhus Sholihin dalam Bab “Ikhlas dan menghadirkan niat dalam setiap amalan dan ucapan baik yang nampak maupun yang tersembunyi.” Kaitan hadits di atas dengan judul bab adalah pada penggalan hadits, “kemudian nantinya mereka akan dibangkitkan sesuai dengan niat mereka”.

Beberapa faedah dari hadits di atas:

1- Setiap amalan manusia tergantung pada niatnya. Dan ada yang berniat baik, ada pula yang berniat buruk.

2- Bahaya berteman dengan ahli maksiat dan orang yang berbuat zholim.

3- Motivasi supaya berteman dengan orang-orang yang baik.

4- Siapa yang bersama-sama dengan ahli kebatilan, maka ia akan sama-sama mendapatkan hukuman. Hukuman tersebut akan menimpa yang sholih maupun tholih (pelaku maksiat), pelaku kebaikan dan pelaku kejahatan, mukmin dan kafir,  orang yang taat shalat dan pembangkang. Hukuman tersebut akan menimpa mereka semua. Namun pada hari kiamat, mereka akan dibangkitkan sesuai niatan mereka. Hal ini sama dengan yang disebutkan dalam ayat,

وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.” (QS. Al Anfal: 25).

5- Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan tentang perkara ghoib, yaitu tentang hari berbangkit. Perkara ghoib seperti ini wajib diimani. Apa yang beliau beritakan pasti akan terjadi karena tidak mungkin Rasul kita memperturut hawa nafsunya sendiri.

Semoga bermanfaat. Hanya Allah yang memberi taufik supaya bisa ikhlas dan menghadirkan niat dalam setiap perkataan maupun perbuatan.

 

Referensi:

Bahjatun Nazhirin Syarh Riyadhish Sholihin, Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al Hilaliy, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan pertama, tahun 1430 H, hal. 28-29.

Nuzhatu Syarh Riyadhish Sholihin, Dr. Musthofa Al Bugho, dll, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1432 H, hal. 14.

Syarh Riyadhish Sholihin, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, terbitan Madarul Wathon, cetakan tahun 1426 H, hal. 30.

 

@ Pesantren Darush Sholihin, Panggang-Gunungkidul, 6 Rajab 1434 H

www.rumaysho.com

 

Silakan follow status kami via Twitter @RumayshoCom, FB Muhammad Abduh Tuasikal dan FB Fans Page Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat

Viewing all 3977 articles
Browse latest View live